Mohon tunggu...
Rifky Pradana
Rifky Pradana Mohon Tunggu... -

Seseorang pria yang bukan termasuk golongannya rakyat 'Jelita', hanya seorang rakyat 'Jelata' saja, yang suka iseng, yang suka mengisi waktu nganggurnya untuk menghibur dirinya dengan membaca dan menuliskan uneg-unegnya yang dipostingkan di blog komunitas : Kompasiana, Politikana, serta di milis-milis yahoogroups.com : Forum Pembaca Kompas, Mediacare, Media Umat, Ekonomi Nasional, PPI-India, Indonesia Rising, Nongkrong Bareng Bareng, Wartawan Indonesia, Zamanku, Eramuslim, Sabili, Mencintai Islam, Syiar Islam, dengan nickname rifkyprdn@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Juki & Poltak: Reinkarnasinya Harmoko (?)

25 Agustus 2010   01:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:44 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Juki, konon nama ini merupakan nama panggilan akrab disementara kalangan untuk menyebut Marzuki Alie, seorang politikus yang saat ini menjabat sebagai Ketua DPR merangkap juga sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina partai Demokrat.

Sedangkan nama Poltak, konon juga merupakan nama panggilan yang dinisbatkan oleh sementara untuk menyebut Ruhut Sitompul, yang juga saat ini menjabat sebagai Anggota DPR merangkap juga sebagai pengurus teras di jajaran partai Demokrat.

Menilik sepak terjang dari para petinggi partai Demokrat pada akhir-akhir ini, wabil khusus sosok Juki dan juga sosok Poltak, teristimewa dalam membela Presiden SBY beserta kerabatnya, termasuk dan tak terkecuali juga memperjuangkan segala kepentingannya, telah mengingatkan pada sosok Harmoko.

Seperti sudah dimaklumi dan diketahui bersama, Harmoko atau dulu di beberapa kalangan biasa disebut dengan nama Bung Klimis ini pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan dan Ketua Umum Golkar serta Ketua DPR/MPR di masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Dan sudah menjadi pengetahuan di banyak kalangan, tentang tingginya tingkatan adab kesantunannya Bung Klimis ini, terutama jika berkaitan dengan segala hal urusan yang menyangkut soal Presiden Soeharto.

Juga sudah dikenal tentang tingginya loyalitas dan semangat pembelaan dari Bung Klimis ini jika sudah menyangkut kepentingan Presiden Soeharto selaku atasannya di partai politik, dimana Bung Klimis ini menjabat sebagai Ketua Umum dan Presiden Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembinanya.

Berkait sosok Bung Klimis (Harmoko) ini, sementara kalangan ada yang menyamakan sosoknya pada masa ini dengan sosok Juki (Marzuki Alie) dan Poltak (Ruhut Sitompul).

Bahkan ada yang secara bercanda dengan mengatakan bahwa Juki dan Poltak adalah reinkarnasinya Bung Klimis.

Tak jelas, sebenarnya itu dimaksudkan sebagai sekedar bercanda saja, ataukah sebenarnya merupakan lontaran olok-olok.

Reinkarnasinya itu jika dikupas dari sisi bagaimana sepak terjang yang dilakukan oleh Juki dan Poltak pada masa kini serta Bung Klimis pada masa lalu itu, maka mungkin begitulah yang seharusnya dilakukan oleh para sosok bawahan dalam mengabdi kepada atasannya.

Lontaran Bung Poltak tentang wacana perpanjangan masa jabatan Presiden SBY, juga pernyataan Bung Juki dan Bung Poltak tentang himbauan kepada masyarakat bahwa besan Presiden SBY itu bukanlah seorang koruptor, barangkali memang merupakan suatu keharusan yang musti dilakukannya sebagai sosok bawahan yang loyal dan baik.

Tentu saja tak semua orang akan sependapat dengan hal itu, dan itu wajar saja, mengingat didalam demokrasi yang dinamakan berbeda pendapat itu bukanlah tindakan kriminal dan makar.

Namun, mungkin bagi Bung Juki dan Bung Poltak tidaklah penting bagaimana reaksi dan opini publik berkait atas lontaran wacananya itu. Karena, mungkin yang terpenting bagi mereka bukanlah itu.

Reaksi dari publik tidaklah penting bagi mereka. Karena, mungkin yang penting bagi mereka itu adalah lontaran wacana itu dapat dijadikan semacam upeti dari mereka berdua kepada bos dan atasannya.

Upeti atau semacam bukti berupa tindakan yang menunjukkan bahwa mereka selaku bawahan dan anak buah sudah mencoba melakukan sesuatu bentuk dharma bakti kepada Presiden SBY beserta seluruh kepentingan dirinya sendiri maupun keluarga dan kerabatnya.

Bisa jadi setelah melihat reaksi publik atas lontaran wacana itu, kemudian Presiden SBY di depan publik menunjukkan ketidaksetujuannya atas lontaran wacana dari bawahan dan anak buahnya itu.

Namun lagi-lagi itu bukanlah inti tujuannya. Kesetujuan atau ketidaksetujuan Presiden SBY yang disampaikan kepada publik atas lontaran wacana mereka itu bukanlah hal yang penting.

Hal terpenting bagi mereka berdua adalah bagaimana sambutan dan reaksi Presiden SBY yang disampaikan secara langsung kepada mereka berdua, walau tanpa sepengetahuan publik.

Jika ternyata Presiden SBY tidak memarahinya maka itu sudah sangat lebih dari cukup bagi mereka.

Karena dengan itu secara hakikatnya sudah merupakan bentuk tanda yang sangat sahih bahwasanya Presiden SBY berkenan dengan unjukan upeti dan laku darma bakti dari anak buah dan bawahannya itu.

Karena hal itu sesungguhnya mungkin menunjukkan bahwa Presiden SBY mengamini dan sependapat dengan lontaran wacana dari anak buahnya itu.

Namun dikarenakan reaksi publik tidak menunjukkan sambutan yang cukup baik atas wacana itu, maka dengan terpaksa Presiden pun menyatakan ketidak sependapatannya.

Hasil memang penting, tapi jika pun belum berhasil tidaklah mengapa asalkan anak buahnya sudah mencoba melakukan usaha percobaan yang mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu.

Begitukah ?. Ah, bisa jadi begitu tapi bisa jadi juga tidak begitu. Publik tentulah hanya bisa meraba-rabanya saja, tentu hanya Presiden SBY dan Bung Juki serta Bung Poltak saja yang secara persis mengetahuinya.

Bukankah dalam laut bisa diduga tapi dalam hati seseorang tidaklah ada yang tahu terkecuali tentu hanya yang bersangkutan dan Allah SWT saja yang secara persis mengetahuinya ?.

Terlepas dari itu semua, mungkin ada baiknya jika sejenak bernostalgia tentang sekelumit sepak terjang yang pernah dilakukan oleh Bung Klimis di masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Berkait dengan itu, ada satu cerita anekdot dengan judul : ‘Harmoko Bingung’, yang dicomot dan disadur dari sini.

Beginilah cerita selengkapnya :

Paska terpilihnya Harmoko menjadi Ketua DPR/MPR, si Bung ini kebingungan tentang bagaimana sebaiknya dirinya harus memanggil Presiden Soeharto.

Pasalnya, sebagai Ketua DPR/MPR dia harus memanggil Presiden Soeharto dengan sapaan ‘Saudara Presiden’.

Lebih sial lagi, karena dia disamping Ketua MPR juga merangkap sebagai Ketua DPR, maka itu artinya dia harus lebih sering memanggil dengan sapaan itu.

‘Saudara Presiden’, jelas sungguh sulit baginya mengucapkan sapaan itu, karena seumur-umur dia tidak pernah melakukannya.

Oleh sebab itu si Bung ini berkonsultasi dengan istrinya tentang masalah sapaan ini.

Bune, bagaimana ini ya baiknya. Aku kan jadi pakewuh nanti”, katanya kepada sang istri.

Aduh Pakne, aku juga bingung”, jawab istrinya. “Lebih baik Pakne konsultasi saja dengan Bapak Presiden bagaimana sebaiknya”, kata istrinya lebih lanjut.

Usulan istrinya itu diterimanya, karena itu sesuai dengan kebiasaannya menggunakan kalimat ‘menurut petunjuk bapak presiden’.

Maka berangkatlah Harmoko ke Cendana, rumah kediaman Presiden Soeharto.

Setelah membungkuk dalam-dalam dan mencium tangan Presiden Soeharto, dan setelah dipersilahkan untuk duduk, maka Harmoko mulai secara perlahan-lahan dan penuh hormat kesantunan menjelaskan masalah yang menjadi beban pikirannya itu.

Sebagai orangtua yang arif bijaksana, maka Presiden Soeharto lantas dengan sareh memberi jawaban yang menyejukkan.

Moko, kamu ndak usah bingung”, kata Soeharto dengan senyumnya yang khas.

Kamu boleh saja menyebut daripada aku dengan sapaanSaudara Presiden’. Itu sudah seharusnya, dan itu konstitusional. Tapi supaya perasaanmu enak, sebelum kamu mengucapkanSaudara Presidenkamu lebih dulu mengucapkansesuai petunjuk Bapak Presiden’, khan begitu ya Moko ?”, kata Presiden Soeharto panjang lebar dalam memberikan petunjuknya kepada Bung Klimis ini.

Akhirulkalam, andai benar bahwa Bung Juki dan Bung Poltak ini memang pantas disebut sebagai reinkarnasinya Bung Klimis, maka apa salahnya ?.

Toh, itu menunjukkan tingkatan adab kesopan santunan yang tinggi dalam lingkup budaya ketimuran yang adi luhung.

Serta, tentu sudah sewajarnya jika bawahan dan anak buah itu harus menunjukkan loyalitas dan darma bakti serta pengabdiannya kepada atasannya.

Bukankah begitu ?.

Wallahualambishshawab.

*

  • Gambar foto ilustrasi merupakan copypaste dari sini dan sini serta sini .

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun