Sama rata sama rasa yang semua sama tanpa mengenal perbedaan kelas sosial ekonomi antara si kaya dengan si miskin, maupun juga tak mengenal adanya golongan kasta antara para ksatria dan brahmana dengan para paria dan sudra.
Begitulah kata sebagian golongan dalam mendefinisikan dan menerjemahkan salah satu sisi dari falsafahnya komunisme.
Pemerintah negara Indonesia secara resminya melarang segala bentuk paham komunisme untuk berkembang dan diterapkan di bumi Nusantara yang oleh sebagian kalangan digelari negri untaian zamrud khatulistiwa.
Jika berpegang kepada definisi dan terjemahan komunisme seperti tersebut diatas.
Maka sangat bisa jadi apabila kemudian ada sebagian golongan lainnya yang mendefinisikan dan menterjemahkan arti anti komunisme itu sebagai pemerintah suatu negara yang harus membedakan masyarakatnya berdasarkan perbedaan kelas sosial ekonomi antara si kaya dengan si miskin maupun juga berdasarkan golongan kasta antara para ksatria dan brahmana dengan para paria dan sudra.
Berkemungkinan dari titik tolak definisi dan terjemahan salah satu sisi dari anti komunisme seperti tersebut diatas itulah maka wajah dunia pendidikan di beberapa sekolah negri yang milik negara Indonesia itu didesain sedemikian rupa sehingga sangat mencerminkan falsafah yang sangat anti komunisme.
Sebuah desain dan bentukan struktural dari implementasi falsafah yang membedakan kelas sosial ekonomi antara si kaya dengan si miskin maupun juga membedakan golongan kasta antara para ksatria dan brahmana dengan para paria dan sudra.
Bagaimana tidak boleh dikatakan begitu, jika dalam satu lingkungan di sebuah sekolah berstatus negeri (sekolah milik negara) diterapkan perbedaan dan pembedaan yang mencerminkan keadaan yang demikian itu.
…Kastanisasi dalam dunia pendidikan di negeri ini bukanlah delusi, melainkan benar-benar nyata. Meski terus dibantah oleh para penyelenggara negara, kenyataan di lapangan berbicara lain: kastanisasi memang ada! Ironisnya, hal itu terjadi di sekolah yang dikelola negara dan ditopang kebijakan resmi pemerintah…
Demikian tulisan di paragraf pertama sebagai pembuka berita bertajuk “Kursi Saja Dibedakan…” yang dirilis oleh surat kabar harian kompas pada tanggal 3 Juni 2010.
Masih di berita itu, dituliskan juga salah satu contoh dari pembedaan yang diterapkan adanya pembedaan yang sangat mencolok dalam perbedaan kelas sosial ekonomi antara si kaya dengan si miskin maupun juga membedakan golongan kasta antara para ksatria dan brahmana dengan para paria dan sudra.
…Di lingkungan internal RSBI saja perbedaan fasilitas yang diterima siswa kelas internasional dan kelas reguler amat mencolok.
Apatah lagi dibandingkan dengan sekolah reguler. Anak-anak dari sekolah dan/atau kelas reguler bagaikan masyarakat paria di tengah ”masyarakat bentukan” yang berlabel internasional itu.
Di SMP Negeri 19 DKI Jakarta, misalnya, perbedaan itu sudah terlihat dari kursi yang digunakan.
Siswa kelas reguler ”hanya” duduk di kursi kayu yang keras dan kaku.
Siswa kelas internasional ?. Mereka lebih nyaman duduk di kursi plastik dengan rangka stainless steel, dan meja terpisah, seperti yang kerap ditemui di tempat-tempat bimbingan belajar.
Bukan hanya itu. Siswa kelas internasional juga memiliki ruangan khusus yang digunakan sebagai klinik, berikut dokter umum dan dokter spesialis gigi, yang siap sedia setiap Senin hingga Kamis.
Siswa kelas reguler?. Jauh panggang dari api !...
Nah, jika demikian halnya, maka bisa jadi memang pemerintah Indonesia dengan sengaja bertujuan mendidik para generasi muda Indonesia agar mengenal dan menyadari serta menghayati sedari dini tentang perbedaan kelas sosial ekonomi dan perbedaan kasta golongan atas diri pribadi masing-masing anak murid di sekolah miliknya.
Bisa jadi itu juga bertujuan untuk optimalisasi dari penerapan falsafah anti komunisme.
Dimana anak-anak murid sedari usia dini ditanamkan secara kuat di benaknya akan arti falsafah anti komunisme yang tak sama rata dan tak sama rasa yang tak semua sama karena perbedaan kelas sosial ekonomi antara si kaya dengan si miskin, maupun juga yang ada perbedaan golongan kasta antara para ksatria dan brahmana dengan para paria dan sudra.
Karena demikianlah yang akan dihadapi oleh para anak murid dikemudian hari kehidupannya di tengah masyarakat Indonesia, kelak di usia dewasanya.
Suatu keadaan dimana pemerintah negara itu tak boleh memperlakukan yang sama antara golongan rakyat kaya yang mempunyai kesanggupan membayar dengan golongan rakyat miskin yang tak mempunyai kesanggupan membayar.
Seperti halnya andai suatu saat anak-anak murid itu berkesempatan menaiki sebuah rangkaian gerbong kereta api yang menyediakan gerbong dengan kelas tiket yang berbeda dalam satu rangkaiannya.
Tentu mereka yang hanya membayar sedikit haruslah hanya boleh menaiki gerbong dengan fasilitas minim dan bisa jadi kumuh pula.
Sedangkan mereka yang mampu membayar lebih tentulah boleh menaiki gerbong kelas eksekutif yang berbangku busa empuk dan berfasilitas pendingin udara ac yang sejuk dan nyaman.
Gerbong yang berbeda dengan fasilitas yang berbeda, sekalipun dalam satu rangkaian yang utuh dengan melalui jalan rel yang sama dan tujuan yang sama, serta ditarik oleh satu lokomotif yang sama pula.
Akhirulkalam, hengkangnya Sri Mulyani dari pusat kewenangan pengalokasian anggaran beserta kebijakan garis besar dari mazhab politik-ekonomi Indonesia, ternyata tak serta merta merubah derivasi dan turunan kebijakan di bidang lainnya.
Pun demikian, digantikannya Bambang Sudibyo oleh Muhammad Nuh juga tak serta merta merubah bentuk implementasi kebijakannya di bidang pendidikan.
Memanglah dalam masyarakat jawa dikenal adanya pepatah dan petuah ‘jer basuki kuwi mowo beyo’.
Namun, seperti inikah terjemahan dari pepatah dan petuah itu dalam penerapannya di dunia pendidikan Indonesia ?.
Ataukah, memang seperti inilah cerminan nyata dari visi dan misi sang pimpinan tertingginya ?.
Wallahualambishshawab.
*
Catatan Kaki :
- Artikel dengan tema terkait antara lain dapat dibaca di “RSBI : Rintisan Sekolah Bertarif Internasional” , dan “Sekolah Negri tak Gratis, Swasta pun tetap Mahal” , serta “Visi Internasionalisasi Pendidikan” , dan “Pendapatan Lokal tapi Pengeluaran Internasional” , serta “Menggugat Neoliberalisme” , dan “Dulu hanya Koeli Sekarang pun tetap hanya Boeroeh” .
- Artikel dengan tema lainnya antara lain dapat dibaca di “Utang memang Perlu” , dan “Horor Bom Elpiji” , serta “PKS makin Sejahtera” , dan “Jatah Preman ala DPR” , serta “Redenominasi dan Sanering” , dan “Jerusalem 1187 Masehi” .
- Foto ilustrasi sebagai pemanis tampilan dari sini yang dicopy paste dari sini, sini, sini, sini, sini, sini.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H