Mohon tunggu...
Rifky Pradana
Rifky Pradana Mohon Tunggu... -

Seseorang pria yang bukan termasuk golongannya rakyat 'Jelita', hanya seorang rakyat 'Jelata' saja, yang suka iseng, yang suka mengisi waktu nganggurnya untuk menghibur dirinya dengan membaca dan menuliskan uneg-unegnya yang dipostingkan di blog komunitas : Kompasiana, Politikana, serta di milis-milis yahoogroups.com : Forum Pembaca Kompas, Mediacare, Media Umat, Ekonomi Nasional, PPI-India, Indonesia Rising, Nongkrong Bareng Bareng, Wartawan Indonesia, Zamanku, Eramuslim, Sabili, Mencintai Islam, Syiar Islam, dengan nickname rifkyprdn@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kentongan yang Tersingkirkan

10 April 2010   04:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:53 2738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kentongan ternyata tak hanya dikenal di masyarakat Indonesia saja. Konon kabarnya, kentongan ini juga dikenal di masyarakat negara lainnya, seperti China dan Korea serta Jepang.

Di kebanyakan daerah di Indonesia pada masa lalu, kentongan ini mempunyai peran penting sebagai alat komunikasi yang multi fungsi.

Kentongan ini berdasarkan perbedaan irama bunyinya dipakai sebagai wahana penyampai pengumuman dan sebagai penanda waktu serta sebagai alarm tanda bahaya.

Sayangnya, irama bunyi kentongan belum memiliki standar yang baku, sehingga setiap daerahnya mempunyai kode dan arti yang tersendiri.

Walaupun berbeda-beda namun ada juga yang hampir sama, kentongan yang dipukul bertalu-talu dengan frekuensi irama yang cepat itu diartikan sebagai alarm tanda bahaya.

Irama yang demikian itu, di masyarakat Jawa disebut dengan sebutan irama titir.

Kentongan berirama titir itu biasanya dipakai untuk memperingatkan masyarakat akan adanya bahaya, seperti ada kejadian kejahatan pencurian, kebakaran, kebanjiran, bencana alam.

Namun, ada juga daerah yang membedakan dan memerinci keadaan bahaya itu, dimana irama titir hanya dipakai untuk penanda adanya bencana alam dan kebakaran saja.

Sedangkan jika terjadi peristiwa perampokan maka kentongan dipukul dengan irama empat-empat secara terus menerus.

Irama empat-empat itu artinya kentongan dipukul sebanyak empat kali berturut-turut, lalu diselingi jeda sebentar, kemudian dipukul empat kali berturut-turut. Demikian terus berulang-ulang.

Sedangkan jika terjadi pencurian maka kentongan dipukul dengan irama tiga-tiga, dan apabila hanya ada orang yang di curigai dengan irama dua-dua.

Lain halnya yang terjadi di masyarakat pedesaan yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Kentongan juga digunakan untuk mengusir hewan-hewan liar yang akan merusak ladang dan sawah serta kebun.

Selain itu, kentongan ini juga difungsikan untuk mengumpulkan massa. Orang-orang yang mendengar suara kentongan itu lalu bergegas berkumpul di tempat asal bunyi kentongan itu untuk mendengarkan sebuah berita atau pengumuman.

Di surau atau masjid, kentongan ini digunakan sebagai penanda waktu. Berdampingan dengan bedug, kentongan dibunyikan sebelum dikumandangkan azan.

Saat ini sudah jarang masjid yang masih menggunakan kentongan, beberapa hanya tinggal memakai bedug saja. Bahkan kebanyakan sudah tak lagi memakai kentongan maupun bedug.

Demikian juga halnya dengan penggunaan kentongan di masyarakat modern. Kentongan hampir tak ada lagi yang menggunakannya, terkecuali di daerah-daerah tertentu saja.

Seperti misalnya, masyarakat di daerah di sekitar lereng gunung Merapi. Bunyi kentongan masih dijadikan sebagai salah satu sarana peringatan kepada masyarakat berkaitan dengan situasi bahaya gunung Merapi.

Masyarakat biasanya akan langsung menyambut bunyi titir kentongan tanda bahaya Merapi itu, sehingga suara titir kentongan menjadi saling bersahut-sahutan dan bunyinya secara estafet menjadi sarana yang cukup efektif sebagai bagian dari upaya early warning system.

Berkait dengan itu, sebenarnya kentongan yang dianggap ketinggalan zaman ini masih cukup efektif untuk kembali dimasyarakatkan.

Tak terbatas hanya untuk masyarakat di daerah pedesaan saja. Bahkan di masyarakat perkotaan pun kentongan ini sesungguhnya masih relevan untuk kembali dibudayakan. Paling tidak, dalam konteks untuk kembali membangun early warning system yang murah dan efektif.

Bunyi kentongan ini, di malam hari dapat mencapai radius jarak hampir satu kilometer dari asal bunyinya. Jika dibunyikan secara estafet yang saling sahut-menyahut, maka memadai untuk menjangkau satu kawasan yang sebesar megapolitan Jakarta Raya.

Kentongan ini biaya pengadaannya murah dan mudah, dan perawatannya juga murah dan sederhana.

Pelaksanaan pembangunan jaringannya juga teramat sangat cepat dan mudah, cukup digantungkan di pos-pos ronda kamling dan teras rumah penduduk. Juga tak memerlukan keahlian khusus untuk mengoperasikannya.

Pengoperasiannya tak tergantung cuaca dan tetap dapat dioperasikan sekalipun terguyur air hujan.

Serta pengoperasiannya juga tak tergantung keadaan pasokan catu daya listrik. Pada saat listrik padam pun, kentongan masih bisa difungsikan secara optimal sebagaimana fungsi maksimalnya.

Akhirulkalam, sebenarnya pembudayaan kembali penggunaan kentongan ini juga selaras dengan perkuatan ekonomi nasional.

Sebab, pembuatan peralatan kentongan ini tak memerlukan teknologi canggih yang harus didatangkan secara impor dari luar negeri.

Sehingga, bisa dipakai untuk menggalakkan pemakaian hasil produksi dalam negeri.

Adakah pemerintah juga sudah mempertimbangkan soal itu ?.

Wallahulambishshawab.

*

Catatan Kaki :

  • Artikel terkait tema sosbud yang membahas budaya daerah dengan kearifan lokalnya dapat difungsikan sebagai benteng nasionalisme dapat dibaca di ‘Geliat Feodalisme Birokrat Jawa’ dengan mengklik di sini .
  • Artikel terkait tema lainnya dapat dibaca dengan mengklik di sini.

*

Gambar ilustrasi berasal dari siniyang dicopy paste dari sini .

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun