Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA, APU, yang lahir di Bone Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Maret 1953 adalah seorang Guru Besar di UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta. Istri dari Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, ini merupakan perempuan pertama yang dikukuhkan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sebagai profesor riset bidang Lektur Keagamaan.
Ibu dari dua anak ini juga dikenal sebagai Ketua dari ICRP (Indonesia Conference on Religion and Peace) yang mempunyai kantor sekretariat di Jl. Cempaka Putih Barat XXI No.34, Jakarta 10520
Musdah Mulia ini tercatat sebagai penerima penghargaan ‘Yap Thiam Hien 2008’. Selain itu ia dari juga tercatat sebagai penerima penghargaan sebagai ‘Women of the Year 2009’ yang diterimanya dari Il Premio Internazionale La Donna Dell ‘Anno.
Disamping itu, Musdah Mulia pada hari Perempuan Internasional di tahun 2007 yang lalu, juga menerima penghargaan dalam bidang ‘Kebebasan Beragama dan Hak-Hak Sipil’.
Menteri Luar Negeri USA saat itu yaitu Condoleeza Rice, saat acara pemberian penghargaan kepada sepuluh wanita pejuang Demokrasi dan HAM itu, mengatakan bahwa “Inilah perempuan-perempuan yang sudah susah payah berjuang tanpa lelah menegakkan demokrasi, mengupayakan dan mempromosikan nilai-nilai hak asasi manusia di negara mereka”.
Nama besar Siti Mudah Mulia memang sudah cukup lama dikenal sebagai salah seorang aktivis Feminis Muslimah.
Namun namanya benar-benar mencuat dan melambung begitu populer mulai sekitar tahun 2004. Saat itu ia menjabat sebagai Ketua Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama Republik Indonesia yang menghasilkan naskah CLD-KHI (Counter Legal Draft - Kompilasi Hukum Islam).
Dalam CLD-KHI itu antara lain disebutkan bahwa pernikahan bukan ibadah, poligami haram, boleh nikah beda agama, boleh kawin kontrak, perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, ijab kabul bukan rukun nikah.
Menariknya, berkait lebih jauhnya dengan Rukun Nikah, Musdah Mulia pernah berpendapat bahwa salah satu Rukun Nikah adalah Pencatatan Pernikahan.
Berkait dengan pencatatan pernikahan sebagai salah satu Rukun Nikah itu Mudah Mulia pernah memberikan argumentasi terhadap penentangnya yang mengatakan bahwa penambahan atas Rukun Nikah adalah Bid’ah.
Terhadap hal itu, Musdah Mulia beragumentasi, bahwa diperlukan adanya ijtihad baru dalam menafsirkan hukum-hukum agama Islam, agar dapat merespon persoalan sosial yang muncul di masyarakat.
“Jangankan pada masa Nabi Muhammad yang hidup pada abad ke-7, perkawinan Nenek dan kakek saya pun tidak ada pencatatan pernikahannya. Tetapi pada masa itu barangkali tidak menjadi masalah, karena para saksinya masih bisa dipercaya. Pada jaman kita sekarang, salah satu bukti yang menunjukkan seseorang merupakan pasangan suami istri adalah akte nikah. Argumen teologisnya, kita dapat berqiyas ke ayat 282 Al-Baqarah yang mewajibkan pencatatan dalam transaskri hutang-piutang. Kalau dalam utang piutang saja wajib dicatatkan, apalagi transaksi perkawinan yang nota bene merupakan transasksi paling penting dalam hidup manusia”, begitu argumentasinya tentang perlunya pencatatan pernikahan dimasukkan sebagai salah satu Rukun Nikah.
Prof. Dr. Musdah Mulia, MA, APU, memang dikenal kritis dan rasional dalam melihat berbagai persoalan berkait dengan tafsir Hukum Islam.
Sedemikan kritisnya, bahkan sampai-sampai ia pernah berpendapat bahwa Homoseksual dan Homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam.
Berkait dengan pendapat Musdah Mulia tentang Homoseksual itu, Harian The Jakarta Post pada tanggal 28 Maret 2008, pernah menuliskan bahwa “Moderate Muslim scholars said there were no reasons to reject homosexuals under Islam, and that the condemnation of homosexuals and homosexuality by mainstream ulema and many other Muslims was based on narrow-minded interpretations of Islamic teachings”.
Menurut Musdah Mulia, salah satu berkah Tuhan adalah bahwasanya semua manusia, baik laki-laki atau wanita, adalah sederajat, tanpa memandang etnis, kekayaan, posisi sosial atau pun orientasi seksual. Dalam pandangan Tuhan, manusia dihargai hanya berdasarkan ketaatannya. Karena itu maka tidak ada perbedaan antara lesbian dengan non-lesbian.
“Tidak ada perbedaan antara lesbian dan tidak lesbian. Dalam pandangan Allah, orang-orang dihargai didasarkan pada keimanan mereka. Dan membicarakan tentang keimanan adalah hak istimewa Allah untuk menghakimi”, kata Musdah Mulia.
Demikianlah sosok aktivis feminis Islam, yang oleh Todung Mulya Lubis pernah dipuji sebagai sosok yang mau dan berani bersuara, sehingga menjadikan Islam sebagai komunitas yang teduh, dan dialogis, serta inklusif. Akhirulkalam, sahnya sebuah pernikahan menurut aturan Syari’ agama Islam adalah terpenuhinya Syarat dan Rukun Nikah.
Apakah karena menurut itjihadnya Siti Musdah Mulia bahwa Pencatatan Pernikahan itu adalah salah satu Rukun Nikah, maka Menteri Agama menjadi berencana akan mendenda sebesar maksimal Rp. 6 juta atau mempidana penjarakan selama 6 bulan bagi para pelanggar Rukun Nikah itu ?. Wallahualambishshawab * Catatan Kaki : Artikel lain yang berjudul ‘Kawin Siri dan Kumpul Kebo’ dapat dibaca dengan mengklik di sini , dan yang berjudul ‘George Soros dan Boediono serta Musdah Mulia’ dapat dibaca dengan mengklik di sini , serta yang berjudul ‘Boediono serta Islam Subtansial’ dapat dibaca dengan mengklik di sini , dan yang berjudul ‘Lia Eden = Nabi Muhammad SAW’ dapat dibaca dengan mengklik di sini . *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H