Mohon tunggu...
Rifky Pradana
Rifky Pradana Mohon Tunggu... -

Seseorang pria yang bukan termasuk golongannya rakyat 'Jelita', hanya seorang rakyat 'Jelata' saja, yang suka iseng, yang suka mengisi waktu nganggurnya untuk menghibur dirinya dengan membaca dan menuliskan uneg-unegnya yang dipostingkan di blog komunitas : Kompasiana, Politikana, serta di milis-milis yahoogroups.com : Forum Pembaca Kompas, Mediacare, Media Umat, Ekonomi Nasional, PPI-India, Indonesia Rising, Nongkrong Bareng Bareng, Wartawan Indonesia, Zamanku, Eramuslim, Sabili, Mencintai Islam, Syiar Islam, dengan nickname rifkyprdn@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Haruskah Bunuh Diri?

19 Februari 2010   07:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:51 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir lima tahun yang telah silam, saat usai mendengarkan tausiah di sebuah majelis taklim, ustadz memanggil seorang perempuan anggota jamaahnya.

Perempuan yang sudah berumur mendekati limapuluh tahun itu kemudian beringsut mendekat ke tempat duduknya ustadz. Kepalanya tertunduk, seakan tak berani menatap ke arah muka ustadz.

Perempuan itu berhidung mbangir yang terbilang cantik dengan kerudung menjuntai menutupi dadanya. Perawakannya semampai, kira-kira hampir seratus tujuh puluh sentimeter tinggi badannya. Posturnya ideal, menunjukkan berat badan yang serasi dengan posturnya yang terbilang tinggi.

Ustadz tampak berbincang sebentar dengan perempuan itu. Lalu ia memanggil satu orang santri laki-laki dan satu orang santri perempuan. Mereka berdua adalah santri senior di majelis taklim itu.

Selang beberapa saat mereka berempat tampak berendeng memasuki sebuah ruangan. Cukup lama mereka berada di ruangan itu, mungkin hampir satu jam lamanya.

Dari situlah awal dari kisah ini. Cerita sebuah perjalanan hidup manusia yang seperti jamaknya manusia pada umumnya, tak ada yang mampu menjalaninya dengan Mulus.

Ada saja halangan dan dilema ditengah kadar dan tingkat keimanan yang berkelindan naik turun, ditingkahi dengan cobaan dan ujian yang silih berganti datangnya.

Perempuan itu, tak disebutkan nama aslinya, namun sebut saja ia dengan nama Fulani.

Masa mudanya dihabiskan di sekolah, sampai akhirnya menggondol gelar sarjana. Ditengah masa kuliahnya, ia mulai berkenalan dengan agama. Dan, di masa kuliahnya itu pula ia menemukan jodohnya.

Mereka pun lalu menikah, dan mempunyai 3 orang anak dari perkawinannya itu. Sulung pembarepnya seorang laki-laki, kemudian penengahnya seorang perempuan, sedangkan bungsunya seorang laki-laki. Sendang kaapit pancuran, begitu istilah jawa menyebut komposisi urutan anak yang demikian itu.

Saat usia perkawinannya mengijak ke usia dua puluh lima tahun, Fulani ini mulai giat dan taat menjalankan perintah agamanya, termasuk mulai mengenakan busana muslimah.

Kehidupan mereka harmonis, rumah yang cukup megah, kehidupan sosialnya cukup sejahtera dengan fasilitas satu buah mobil untuk masing-masing anggauta keluarganya.

Tapi di hari itu persoalan besar datang menghampirinya. Si penengah anak gadisnya sudah dipinang orang, dan rencananya sebulan lagi akad nikah akan dilangsungkan. Undangan sudah mulai disebar, persiapan pesta walimahan juga sudah selesai dipersiapkan. Tinggal menunggu hari pelaksanaannya saja.

Ibu mana yang tak bahagia melihat anak gadisnya, telah dengan selamat diantarkannya ke depan gerbang kehidupan yang baru. Hampir tunai sudah kewajibannya untuk mendidik dan membimbing serta menjaganya, dan untuk seterusnya kewajiban itu akan beralih kepada menantunya.

Ya, sebenarnya itu adalah kegemberian, dan anugerah yang besar. Mengingat tak semua orangtua mampu mengantarkan anak perempuannya ke gerbang pernikahannya dengan selamat, tanpa suatu kecelakaan apapun ditengah perjalanannya.

Memang sang ibu juga tak akan tahu apakah anak gadisnya itu masih perawan sampai ke pernikahannya. Tapi paling tidak si penengahnya itu, menuju ke perkawinannya tanpa melalui hamil duluan sebelum pelaksanaan pernikahannya.

Setidaknya, itu sudah suatu yang patut disyukuri. Namun, saat menjelang pernikahan anaknya, justru Fulani ini menghadapi dilema yang cukup luar biasa sulitnya.

Rupanya, si Fulani ini baru tersadarkan jika selama ini dia menyimpan rahasia besar, dimana rahasianya itu harus dibukanya di hari pernikahan anaknya.

Seperti diketahui, pada perkawinan menurut syariat Islam, jika tidak ada uzur yang diperbolehkan secara syari’, maka wali dari mempelai perempuan haruslah wali nasabnya.

Disinilah masalah besarnya. Inilah rahasia besar yang selama ini dipendamnya rapat-rapat. Inilah aib yang selama ini ditutupnya rapat-rapat. Sesungguhnya, bapak biologis dari si penengah anak perempuannya itu bukanlah suaminya.

Singkat cerita, rupanya si Fulani ini ditengah kehidupan perkawinanya pernah berselingkuh dengan rekan kantornya. Dan dia teramat yakin bahwa anak perempuannya itu adalah anak dari selingkuhannya itu.

Sekarang disaat anak perempuannya itu akan melangsungkan pernikahannya, dia membutuhkan wali nasabnya.

Fulani menghadapi dilema yang sulit. Bagaimana dia harus mengatakan hal ini kepada suaminya ?. Haruskah dia berterus terang dengan segala konsekuensinya ?. Ataukah dia harus membiarkan anak perempuannya menikah dengan wali nasab yang bukan nasabnya ?.

Fulani hampir tak mampu mengahadapi pilihan-pilhan dari dilemanya itu. Dihadapan ustadz ia menangis, dan ia memohon agar diizinkan bunuh diri saja.

Tentu saja ustadz tak membolehkannya, apapun alasan dan penyebabnya, bunuh diri adalah sesuatu dosa besar yang tak akan terampunkan.

Ustadz lalu menasehati agar Fulani mengaku terus terang kepada suaminya. Kemudian si anak perempuan itu biarlah menikah dengan wali nikah bukan wali nasabnya, akan tetapi dengan wali hakim saja.

Begitulah nasihat dari ustadz yang juga mengingatkan bahwa jika Fulani tak berterus terang kepada suaminya, maka ada dosa yang harus terus dipikulnya. Juga perasaan bersalah yang akan terus menderanya.

Tapi, ternyata Fulani tak berani menjalankan nasihat ustadz tersebut. Fulani pun memilih untuk tetap menutup rapat-rapat rahasianya itu, dan anak perempuannya pun menikah dengan wali nasab yang sesungguhnya bukan nasabnya.

Biarlah dosa ini akan kutanggung sendiri, katanya. Alasannya, ia tak berani resikonya, ia merasa akan tak kuasa melihat konsekuensi jika ia berterus terang kepada suaminya maupun kepada anak perempuannya itu.

Itulah pilhannya, sebuah pilihan yang akan dipertanggungjawabkannya di hadirat Yang Maha Kuasa di akhirat kelak.

Namun paling tidak ada sesuatu yang harus disyukuri, ia tak jadi bunuh diri.

*

Catatan Kaki :

Artikel yang berjudul ‘Kawin Siri dan Kumpul Kebo’ dapat dibaca dengan mengklik di sini, dan artikel yang berjudul ‘Siapakah Calon Mantunya ?’ dapat dibaca dengan mengklik di sini , serta ‘Masihkah Perawan ?’ dapat dibaca dengan mengklik di sini , dan serta ‘Al-Qur’an Bicara, Believe It or Not’ dapat dibaca dengan mengklik di sini .

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun