Mohon tunggu...
bocah larangan 2
bocah larangan 2 Mohon Tunggu... -

upaya kecil untuk menghidupkan budaya walaupun dengan lentera yang redup

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lanjutan 2-Novel (KILAR)

18 Agustus 2010   11:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:55 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bluuugkk! Korban itu jatuh membentur tanah dengan kepala pecah kerena diterobos peluru kerikil tanah kering, tepat dihadapan sang eksekutor yang sedang malang kerik, angkuh. Seekor burung tlimbukan yang tak berdosa, nyawanya melayang bersamaan dengan pecahnya amarah seorang anak manusia yang bernama Sulan. Sebab kebusikan (kedekilan) Sulan diperolokan ketiga provokator hingga harga dirinya dipertaruhkan, aibnya dipertontonkan, cucakrowonya sebagai lambang kejantanan sempat lesu tak bergairah, karena ketenangannya diusik oleh kawanan bromocorah. Sialnya, Sulan mengkaitkan olokan temanya itu dengan ceracau burung tlimbukan. Kemarahan dan ketakberdayaan memang kerap menjadikan orang membabibuta. Betapa ia tak mampu melihat titik masalah dengan pikiran yang jernih. Disinilah letak keberhasilan tukang mengadu domba. Mereka akan terus tertawa terbahak-bahak jika korbanya sudah termakan hasutanya. Hingga pada akhirnya gelap mata hati. Dan korbanya selalu mereka yang terlemah. Dalam hal ini seekor burung tlimbukan.

Sulan yang tak berdaya dengan perolokan ketiga temanya berada pada posisi yang lemah. Akibatnya dia mencari sasaran yang paling lemah untuk melampiaskan amarahnya. Korbanya adalah burung tlimbukan. Akibat ceracaunya dicatut oleh ketiga kawanan anak manusia itu. Mahluk lugu yang tak tahu-menahu urusan manusia menjadi korban kebiadaban. Kesenangan dan ketololan adalah dua mata tombak yang mengarah pada satu sasaran, keluguan.

Diraihnya bangkai korabanya dengan tangan kirinya, didekatkanya pada pandangan matanya, lalu memanggut-manggutkan kepalanya tanda kemenangan, bangga, dan tanpa rasa berdosa.

Kawanan tlimbukan yang lain membisu seribu bahasa, tanda mereka sedang berduka. Meski pembunuhan terhadap makhluk yang lugu itu telah terjadi, namun tak serta-merta amarah Sulan mereda.

(Back: lanjutan 1-Novel (KILAR)


(Next: lanjutan 3-Novel (KILAR)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun