Mohon tunggu...
Cerita Pemilih Pilihan

Kontemplasi Ahok-Djarot dan Anies-Sandi

25 Maret 2017   19:42 Diperbarui: 26 Maret 2017   05:00 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Semakin mendekati hari H putaran II Pilkada DKI, media sosial semakin disesaki dengan perang opini antarpendukung kedua pasangan calon.  Kedua pendukung saling melakukan eliminasi, menafikan, dan mendowndgrade. Saat pendukung Ahok-Jarot mengkampayekan kerberhasilannya dalam pembangunan di Jakarta, pendukung Anies-Sandi meng-counternya dengan opini tentang ketidakberhasilannya atau keputusan-keputusannya yang dianggap salah. Ketika pendukung Anies-Sandi mengampanyekan tentang perlunya mempertahankan keyakinan, pendukung Ahok-Jarot mengkampayekan tentang pentingnya kebhinekaan. Ketika pendukung Ahok-Jarot mengampanyekan program-program unggulannya,  pendukung Ahok-Jarot akan segera melemahkan program itu dari sisi yang memungkinkan untuk dilemahkan. Begitu juga sebaliknya.

Fakta sejarah membuktikan bahwa fenomena black campaigne dam negative campaigne sudah lama digunakan di hampir setiap moment yang berkaitan perebutan kekuasaan. Rumusnya, makin besar kekuasaan yang diperebutkan semakin meningkat pula kualitas dan kuantitasnya. Kelompok dengan latar belakang agama apapun pernah menggunakannya Destructice campaigne dianggap cara paling efektif dalam mendowngrade paslon pesaing dan meng-upgrade paslon yang didukung. Saya percaya tidak ada satupun agama yang membolehkan pemeluknya untuk membuka borok, menjelek-jelekkan, menghina, atau memfitnah orang lain, baik seagama maupun beda agama. Namun ternyata, dalam situasi tertentu ajaran agama bisa berada di bawah  kepentingan politik. Sungguh ironis.

Di Indonesia, fenomena itu benar-benar marak dan kasat mata seiring dengan merebaknya penggunaan internet terutama Facebook dan twitter. Puncaknya adalah pilpres 2012. Kala itu seolah-olah bangsa ini terbelah jadi dua kelompok. Dan retakannya, sampai kini masih dapat dilihat dan dirasakan. Dan retakannya, sepertinya akan makin bertambah lebar daripada sebaliknya.

Saya takut bahwa saya seorang paranoid yang sedang berhalusinasi. Saya kuatir bahwa apa yang saat ini terjadi dan apa yang nanti terjadi adalah sebuah grand design. Saya takut bahwa situasi saat ini bukan sebuah kebetulan semata, tapi hasil sebuah perencanaan matang. Rancangan tersebut memiliki sasaran jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Aktor utamanya siapa? Saya tak berani dan tak berhak menuduh siapapun, bisa  siapa saja, silakan sebutkan sendiri.  Tujuannya apa? Pastilah tak jauh-jauh dari urusan kursi kekuasaan. 

Bagi saya, melakukan black campaigne sama saja dengan tindakan menaburkan bulu-bulu halus di tengah angin yang bertiup kencang. Saya tidak akan pernah tahu kemana angin akan membawanya atau sampai pada siapa. Saya tidak akan pernah tahu bagaimana orang yang menemukan bulu itu akan memaknainya. Saya juga tidak akan tahu akan digunakan untuk apa oleh orang yang menemukannya. Namun, yang saya tahu pasti bahwa nanti pada saat saya menyadari bahwa apa yang saya lakukan tersebut adalah sesuatu yang salah, saya tidak akan mampu memunguti kembali bulu-bulu itu.

Saya bisa saja melakukan pembenaran-pembenaran terhadap apa yang sudah, akan, dan sedang saya lakukan tersebut. Saya bisa bersembunyi rapat di belakang keyakinan bahwa saya sedang memperjuangkan sesuatu yang lebih besar, berharga, dan mulia dari sesuatu yang selama ini kita kenal dengan nama fatsoen (etika). Saya bisa berlindung di balik pemikiran bahwa saya adalah korban dan saya sedang mempertahankan diri. Bahkan, saya bisa berdiri kokoh di samping pemikiran bahwa saya sedang menegakkan keadilan dan kebenaran. Pokoknya saya bisa bersembunyi di balik pemikiran apapun asalkan dengan begitu saya bisa merasa bersih, benar, dan tidak sedang melakukan penistaan terhadap manusia lain.

Saya masih percaya pada peribahasa kuno bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Tuhan akan memberi pemimpin sesuai dengan kita. Siapa pemimpin yang terpilih adalah kita. Jika sebagian besar kita beradab,  pemimpin beradablah yang akan Tuhan berikan pada kita. Jika sebagian besar kita biadab, pemimpin biadablah yang akan Tuhan pilihkan buat kita. 

Jadi tergolong pemimpin jenis yang mana yang sudah dan nanti terpilih? Biadab apa beradab? Karena retakannya sepertinya akan makin bertambah lebar dan dalam,tentu saja jawabanya akan kembali debatable.

(Kadang saya berpikir, jangan-jangan selama ini perasaan dan pikiran saya telah berkhianat. Dia telah sengaja membohongi dan mempermainkan sayai.)  Salam netral.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun