Banyak yang belum tahu dimana Lembata atau mungkin belum pernah mendengar nama daerah ini. Pulau Lembata memang gak setenar pulau Komodo atau danau Kelimutu, padahal tradisi perburuan paus oleh masyarakat Lamalera di bagian selatan pulau ini sudah terdengar hingga ke mancanegara.Â
Saya juga baru tahu daerah ini gara-gara mendengar cerita teman yang seorang reporter di salah satu stasiun tv swasta. Lalu saya buka-buka Google serta tentu saja melihat foto-foto di Instagram untuk mengetahui apa saja keindahan di pulau Lomblen ini.
Lembata adalah sebuah kabupaten di Nusa Tenggara Timur, dengan ibukota Lewoleba. Terletak di gugusan kepulauan Flores Timur yang berdekatan dengan kepulauan Alor di Timur, dan pulau Adonara serta Solor di sebelah Barat. Untuk mencapai Lembata bisa menggunakan kapal laut dari Kupang atau Larantuka.Â
Ada penerbangan dari Kupang ke Lewoleba yang dilayani oleh maskapai Susi Air dan Transnusa. Saya sendiri datang dengan mengambil penerbangan dari Bali ke Maumere, kemudian lanjut ke Larantuka, lalu naik kapal ke Lewoleba. Kapal dari Larantuka ke Lewoleba berangkat 3 kali sehari menyinggahi Weiwerang di pulau Adonara. Ongkos kapalnya 50.000 saja dengan lama perjalanan sekitar 3 jam.
Kalau masih ada waktu baru saya akan mengunjungi tempat-tempat lainnya. Kita menyusun jadwal dan menentukan kapan akan nanjak. Gak pake lama, hari kedua di Lembata kita langsung deal untuk pergi. Teman Lembata saya, Aken dan Irno langsung mempersiapkan motor.
Pagi jam 8 sehabis ngopi kita ke pasar membeli logistik kemudian lanjut mempersiapkan peralatan pendakian termasuk tenda, kompor dan air minum. Kami meninggalkan Lewoleba sekitar jam 11 siang menuju desa Riang Bao di Kolontobo. Biasanya jalur yang lebih terkenal adalah via desa Jontona.Â
Di Riang Bao kami menemui pemuda asli Ile Ape, namanya Reksi, yang kebetulan adalah teman dari Aken. Reksi sudah kita booking sejak minggu lalu untuk join, dan untung saja dia tidak terlalu sibuk. Reksi sering dipanggil menjadi guide apabila ada rombongan yang akan naik melalui jalur Riang Bao.
Sebelum jam 1 siang kita sudah diusir oleh keluarga Reksi, padahal kita masih asik-asiknya bercerita mulai dari kisah tentang Ile Ape sampai ke minuman tuak tradisional dari penyulingan pohon aren yang menjadi minuman sehari-hari para lelaki setempat.Â
Kami berboncengan melewati jalanan kampung yang berujung dengan jalan setapak menembus kebun warga hingga sampai di satu titik kami memarkir motor di bawah pohon. Selanjutnya kami berjalan kaki santai hingga ke pos 1. Masih banyak kebun pisang disekitar dan nyamuk pun begitu rame mendekati kulit-kulit kami yang terbuka. Saya menyemprotkan sprei nyamuk yang saya pinjam dari Rose.Â