Mohon tunggu...
Boby Hernawan
Boby Hernawan Mohon Tunggu... Diplomat - ordinary man

...sedang belajar kehidupan ...

Selanjutnya

Tutup

Money

Corporate Governance: Dua Makna Konsep “Separation of Ownership and Control”

16 Mei 2013   21:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:27 6654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan ringan ini hanya menyajikan gambaran sederhana terkait dengan konsep “separation of ownership and control”, sebuah jargon yang sering kita dengar dalam area corporate governance, management, dan capital market.

Makna pertama

Pada dasarnya konsep perusahaan (modern) mulai muncul pada saat perusahaan tersebut dimiliki oleh banyak pihak, tidak lagi dimiliki oleh perorangan ataupun hanya dimiliki beberapa pihak saja. Kebutuhan modal usaha dan pengembangan bisnis mungkin menjadi salah satu alasan mengapa kepemilikan perusahaan dibuka kepada banyak pihak. Pada mulanya pada saat perusahaan masih belum berkembang (tertutup), pemilik (owner) masih merangkap juga sebagai manajer perusahaan yang menjalankan usaha sehari-hari. Namun seiring dengan berkembangnya kepemilikan pada banyak pihak (diverse ownership), maka para pemilik perusahaan (shareholders) harus menyerahkan pengendalian perusahaan (control) kepada pihak lain, dalam hal ini management yang akan menjalankan kegiatan sehari-hari.

Inilah awal konsep “separation of ownership and control”- pemisahan antara kepemilikan (ownership) dan pengendalian (control). Pemisahan ini kemudian dikenal dengan teori “agency theory / agency relationship”, dimana terdapat pihak principal (shareholders) yang mendelegasikan kewenangan mengelola perusahaan kepada agent (manajemen) dan untuk bertindak mewakili kepentingan principal. Adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian ini juga menimbulkan permasalahan yang dikenal sebagai “agency problem”, yaitu adanya perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen. Pemilik mengharapkan perusahaannya bisa tumbuh dalam jangka panjang, sedangkan manajemen dalam menjalankan tugasnya lebih berorientasi kepada jangka pendek, sesuai dengan kontrak masa kerjanya, dan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi yang dibebankan kepada perusahaan.

Secara teoritis, agency theory and agency problem merupakan cikal bakal tumbuhnya ilmu corporate governance. Secara sederhana corporate governance bisa diartikan bagaimana mekanisme perusahaan dikelola dan dijalankan serta mempelajari hubungan antara berbagai pihak yang terkait dengan perusahaan. Dari sinilah muncul berbagai macam pengaturan terhadap perusahaan yang dikenal sebagai “good corporate governance” untuk melindungi kepentingan shareholders dan stakeholders.

Makna kedua

Dalam konteks ini, konsep “separation of ownership and control” adalah terkait dengan struktur/ kepemilikan perusahaan publik. Kalau dalam konsep pertama lebih bersifat kepada asal mula teori pemisahan kepemilikan dan pengendalian dalam suatu perusahaan, maka dalam makna kedua ini lebih terkait dengan struktur kepemilikan perusahaan publik yang sudah modern dan bersifat komplek.

Dalam konsep ke-dua ini, terdapat dua pengertian fundamental terkait dengan kepemilikan perusahaan, yaitu Ownership Right (OR) dan Control Right (CR).

Ownership Right (OR) mengacu kepada besarnya kepemilikan suatu pihak terhadap perusahaan yang diukur dari jumlah uang/modal yang telah diinvestasikan dalam perusahaan, yang sering kita lihat sebagai persentase kepemilikan. Atas dasar investasi ini, maka pemodal berhak mendapatkan Cash Flow Right (CFR) dalam bentuk dividen atas sahamnya. Dalam kerangka pengertian ini, maka Ownership Right (OR) juga sering disebut sebagai Cash Flow Right (CFR).

Control Right (CR) mengacu kepada kekuatan mengontrol perusahaan yang tercermin pada kekuatan suara dalam penentuan kebijakan strategis perusahaan dalam sebuat rapat umum pemegang saham, sehinggga Control Right (CR) sering juga disebut sebagai Voting Right (VR).

Secara teori, seharusnya cash flow right dan voting right adalah sama dikarenakan saham menganut prinsip one-share-one-vote principle. Artinya persentase kepemilikan suatu pihak yang tercermin dari jumlah nominal investasinya adalah sama dengan persentase suara yang dimiliki pihak tersebut dalam rapat pengambilan keputusan. Ini adalah konsep yang fair, dimana uang yang dikeluarkan untuk investasi dalam perusahaan memberikan hak yang sebanding dalam mengontrol perusahaan melalui kekuatan suara dalam rapat.

Namun demikian, terdapat kondisi atau penyimpangan dimana ownership right/cash flow right adalah tidak sama dengan control right/voting right. Yang terjadi adalah control/voting right melebihi dari ownership/cash flow right. Adanya voting right yang lebih besar dari cash flow right mencerminkan ketidakadilan, dimana ada pemegang saham yang memperoleh control (suara) lebih besar dibanding persentase kepemilikan (investasi)-nya. Atau dengan kata lain, investasi sedikit pada perusahaan namun mendapat hak voting yang lebih besar.

Penyimpangan inilah yang juga kemudian dikenal sebagai makna lain dari konsep “separation of ownership and control”. Bahwa antara ownership (cash flow right) dan control (voting right) terdapat penyimpangan atau perbedaan (deviation/separation).

Yang menggelitik adalah kenapa bisa terjadi penyimpangan ini. Terdapat dua sebab utama.

Pertama, memang terdapat perbedaan kelas saham (misal adanya saham preferen yang memang menyimpang dari prinsip one-share-one-vote). Biasanya ini terjadi pada perusahaan negara (BUMN), dimana diterbitkan saham preferen dalam bentuk gold shares/kelas A yang dimiliki oleh pemerintah.

Kedua, penyimpangan dilakukan melalui pengaturan struktur kepemilikan terhadap suatu perusahaan, yaitu melalui pyramidal structure, cross-holding dan konglomerasi. Sebab kedua inilah yang memang sengaja diciptakan oleh para pemilik/pengendali/family clan, terutama terhadap perusahaan publik melalui pengaturan struktur kepemilikan, untuk memperoleh manfaat voting right yang lebih besar dari cash flow right. Tentunya pihak pemegang saham yang dirugikan adalah pemegang saham lainnya yang berkurang voting right-nya dibandingkan dengan control right-nya. Pemegang saham lainnya disini bisa merupakan pemegang saham publik atau pemegang saham minoritas lainnya.

Terkait dengan fenomena ini, khususnya yang melalui struktur kepemilikan, bagaimana cara mendeteksi dan mengukurnya, misalnya untuk perusahaan terbuka/publik? Untuk bisa menyimpulkan terjadinya penyimpangan, analisa struktur kepemilikan perusahaan publik/terbuka harus dilakukan. Dengan tergambarnya struktur kepemilikan yang komprehensif sampai dengan ultimate shareholder (pemegang saham paling atas, biasanya perorangan atau keluarga), maka dapat diketahui bahwa ultimate shareholder tersebut mendapatkan keuntungan berupa voting right yang lebih besar dari cash flow right.

Memang jika hanya melihat satu atau dua derajat ke atas terhadap pemegang saham dari suatu perusahaan publik, maka tidak terlihat adanya penyimpangan ini, dimana cash flow right adalah sama dengan voting right. Penyimpangan ini akan terlihat jika kita menyusuri rantai kepemilikan sampai dengan paling atas (ultimate shareholder).

Cara mengukur besarnya cash flow right adalah berdasarkan persentase kepemilikan jika kepemilikan langsung dan berdasarkan perkalian persentase kepemilikan sepanjang jalur rantai kepemilikan untuk kepemilikan tidak langsung. Sedangkan untuk mengukur besarnya voting right kepenilikan langsung, maka atas suatu persentase kepemilikan yang ada, harus diklarifikasi apakah terdapat penyimpangan dari one-share-one-vote principle. Apabila tidak ada penyimpangan, maka persentase voting right sama besar dengan persentase cash flow right. Jika terdapat penyimpangan, maka harus ditentukan berdasarkan voting right yang riil yang dimiliki oleh pemegang saham tersebut. Sedangkan untuk mengukur voting right dalam suatu jalur rantai kepemilikan (pemilikan tidak langsung), nilai voting right yang dipakai adalah nilai voting right yang paling rendah dalam rangkaian rantai kepemilikan tersebut.

Dari hasil pembandingan pengukuran antara cash flow right dan voting right yang dimiliki pemegang saham akhir terhadap suatu perusahaan publik yang dimiliki melalui pengaturan struktur kepemilikan, biasanya akan diketemukan penyimpangan yang cukup besar. Sebagai contoh konglomerasi di Korea, melalui pengaturan pyramidal structure dan cross holding, ultimate shareholder dapat menguasai voting right sebesar 24% terhadap sebuah perusahaan publik di Korea dengan hanya memiliki 6% cash flow right. Sebuah penyimpangan yang cukup material dan merugikan pemegang saham lainnya yang hak voting right-nya terkurangi secara signifikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun