Mohon tunggu...
Boboy andika
Boboy andika Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

BAHASA HARMOKO: EUFEISME MAHASISWA KITABAHASA HARMOKO: EUFEISME MAHASISWA KITA

25 Mei 2015   13:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:37 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa semester lalu, seorang pria paruh baya bergestur agak nyentrik mengajar di kelasku. Keuangan daerah, demikian judul mata kuliah yang beliau ampu. Sebagaimana semua dosen yang pernah mengajar—masing-masing punya kenangan berkesan di memori, begitu pula halnya dengan Pak Sembiring—demikian nama pria paruh baya itu. Jika bertemu atau terkenang beliau, frase ‘Bahasa Harmoko’ biasanya akan hinggap selintas pikir di kepala.
Bila disimpulkan, terdapat dua intisari penting berkenaan dengan mata kuliah istimewa ini. Pertama, secara filosofi, keuangan daerah menyangkut ‘money follow function’ (uang mengikuti fungsi). Artinya, uang yang diperoleh daerah (pemda) baik yang berasal dari pusat (dana perimbangan, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan) maupun dari daerah (PAD, dan Lain-lain pendapatan) harus didasarkan pada fungsi yang melekat pada daerah tersebut. Demikian juga penggunaannya. Haram mutlak jika dibelanjakan untuk kegiatan yang bukan merupakan fungsi daerah yang bersangkutan. Tidak dibenarkan bila Kota Tebing Tinggi yang nihil perkebunan, sebagiaan dananya dialokasikan untuk pemberdayaan lahan tanaman keras. Dosa juga hukumnya bila pemerintah Kota Lemang memungut retribusi penyeberangan di air, mengingat warga kota selama ini hanya menggunakan fasilitas transportasi darat dalam menunjang mobilitasnya. Kedua, postur belanja daerah yang tertuang pada APBD semestinya diperuntukkan bagi investasi dan keperluan riset. Dua kategori ini harus mendominasi pengeluaran dibanding sektor belanja pegawai (gaji, honor, tunjangan, dsb). Investasi penting, sebab hanya dengan mekanisme ini sebuah daerah bisa memajukan perekonomian masyarakat, mengingat sifat dari investasi itu sendiri yaitu ‘multiplier effect’ (sesuai dengan teori investasi Keynessian). Sementara, dari program riset yang sistemik diharapkan nantinya akan muncul pendekatan-pendekatan konseptual dalam rangka inovasi pemerintahan. Dari berbagai literatur dijelaskan bahwa sebuah organisasi hanya akan bertahan menghadapi perubahan lingkungan yang merugikan jika apik berinovasi, tak terkecuali pemerintahan daerah.
Namun, lain teori lain pula kenyataan. Dibanding memenuhi kebutuhan investasi dan riset, di banyak daerah uang rakyat justru lebih banyak dihabiskan untuk belanja pegawai . Walhasil, percepatan pembangunan yang menjadi semangat otonomi daerah cenderung hingga kini berjalan di tempat. Pertanyaannya, bila isu ini digembar-gemborkan, kira-kira bagaimana perangkat daerah menyikapinya?
Bahasa Harmoko! Itulah jawaban implisit yang diberikan Bapak Sembiring. Di masa lalu, Harmoko boleh jadi sosok penting penyokong orde baru. Tidak pernah kuliah, tapi beliau bisa mencapai kedudukan strategis pada waktu itu: Menteri Penerangan. Menurut sebagian kalangan, dalam meniti karir, ketimbang mengandalkan prestasi, bapak ini justru lebih terkesan mengandalkan seni bersilat lidah. Dalam suatu sesi perkuliahan, Pak Sembiring pernah mencontohkan bagaimana piawainya Pak Harmoko berbahasa. Begini kata beliau, “…sewaktu Irian dilanda bencana kelaparan, bapak ini dalam siaran persnya menyatakan ‘Kita bukan sedang mengalami kelaparan, tapi sebenarnya kekurangan bahan pangan.’ Beberapa waktu kemudian, ketika terjadi banjir, alih-alih memberi jawaban memuaskan, Pak Harmoko justru meluahkan statement ambigu, ‘Bukan banjir, tapi air yang sedang meluap’. Ujung-ujungnya, jika spaning situasi agak menekan, kalimat ‘menunggu instruksi pak presiden,’ akan beliau lontarkan. Tak jarang pula kalimat itu bertuah meredam gejolak yang sedang terjadi. ”
Tak susah menemukan model bertutur senada eufeisme pak Harmoko. Kebanyakan pejabat maupun politisi kita selalu bermain di area ini. Tengok saja ulah petinggi partai. Yang berseberangan dengan pemerintah telah/sedang/dan akan berkata semisal ini, “Sebagai oposisi, kita akan mendukung kebijakan pemerintah selama itu tidak bertentangan dengan kepentingan rakyat,”. Sedang partai yang mengaku pendukung pemerintah juga telah/sedang/dan akan berucap dengan yang serupa ini, “Meski kami partai pemerintah, apabila ada kebijakan pemerintah yang merugikan kepentingan rakyat kami akan selalu mengoreksi dan mengawasi.”
Menggelikan. Jika memang sama-sama ingin mengawasi dan mendukung pemerintah, pertanyaan besarnya, lalu apa esensi dikotomi ‘oposisi atau pro’? Bergabung sajalah kalau begitu!
Politisi dan pejabat gemar bersilat lidah ala Harmoko, biarlah. Memang itu tabiatnya. Masalah besar justru akan muncul jika mahasiswa ikut-ikutan bertingkah meniru seniornya (politisi dan pejabat). Dan, sesungguhnya itulah yang terjadi baru-baru ini. Sejak kapan pula sejarahnya, mahasiswa berkompromi dengan pemerintah dalam sebuah tajuk berjudul ‘makan malam bersama presiden’? Lupa sejarahkah? Sejak masa perjuangan kemerdekaan, mahasiswa selalu memasang membran terhadap upaya pemerintah untuk kemungkinan diadakannya sebuah dialog. Jika mental kompromistis yang diarusutamakan mahasiswa dan pemuda pada era ’45, peristiwa rengasdengklok yang berhasil mengantarkan proklamasi kemerdekaan bisa jadi takkan pernah ada. Pun demikian halnya dengan era ’66 dan ’98, jika kaki pentolan gerakan mahasiswa kala itu sampai menginjak dinginnya lantai istana, jalan sejarah bangsa pasti akan terbelokkan, tidak akan seperti hari ini.
Bisa saja si Ketua BEM UI atau siapapun itu, melakukan pembelaan atas cibiran terhadap kehadiran mereka di istana. Tapi dia dan rekan-rekannya lupa satu hal: bukan tugas mereka berdialog dengan pemerintah atas sebuah kezaliman. Sejak kapan mereka menjalankan fungsi para politisi yang duduk di parlemen? Jika hanya menyampaikan tuntutan sambil duduk manis di ruang ber AC, politikus senayan juga bisa melakukannya. Tiap hari malah, jika mereka mau. Tapi satu hal yang para politisi itu tak bisa lakukan, dan sejak dulu sudah menjadi otoritas mahasiswa (dan masyarakat): DEMO!
Setelah si Ketua BEM melontarkan pembelaannya pada sebuah tulisan di akun facebook dengan bahasa yang menggugah itu, saya dan mungkin sebagian kalangan masih berbaik sangka atas kemungkinan terlaksananya semua isi pembelaan. Namun, fakta ternyata berkebalikan. Demo memang terlaksana. Tapi sayang, hanya sekedarnya. Dan tak pasti, apakah unsur BEM benar-benar ikut ambil bagian.
Jauh-jauh hari, agenda demo yakni menurunkan presiden sudah terlanjur beredar di publik. Agenda utama ini buntut dari batas deadline yang diultimatumkan mahasiswa kepada pemerintah untuk memperbaiki keadaan sewaktu demonstrasi beberapa bulan sebelumnya. Nyatanya, agenda tersebut tidak terlaksana. Kegagalan ini bukan diperoleh sesudah berteriak dan berpanas-panas berhari-hari di depan kantor presiden. Agenda utama (menurunkan presiden) yang terlanjur telah termediasi melalui meja makan istana, adalah faktor determinan tunggal untuk demo tipu-tipu ini.
Bikin saja meme atau ucapan-ucapan sarkasme mengenai demo yang gagal mencapai gol, di media sosial. Besok lusa, si Ketua BEM dan rekannya takkan tinggal diam. Percayalah, akan ada pembelaan baru. Bisa jadi malah lebih menggugah.

Habis jadi menteri, karir Harmoko makin melejit: Ketua MPR. Sebagai lembaga tertinggi negara, bukan main luar biasa jabatan tersebut. Rasanya, semua elit pada waktu itu hanya berani memimpikan kursi Ketua MPR sebagai puncak prestasi, mengingat menyinggung suksesi presiden hanya akan menjadi tindakan bunuh diri politik. Tapi siapa sangka, jika kemudian si anak emas orde baru itu memilih menyerukan induk semang (Soeharto) tempat dia menyusu agar mengundurkan diri persis ketika dia berada di puncak pencapian (Ketua MPR). Terlepas kemungkinan pilihan itu semata-mata hasil penerawangan politik (baca: kalkulasi politik) seorang Harmoko, sejarah pada akhirnya terlanjur mencatat namanya sebagai pejabat yang pro common sense, jika menyinggung peristiwa Mei 1998.
Apakah para Ketua BEM yang pintar-pintar itu, walau terlalu pagi sudah pandai meniru-niru cakap Harmoko, sanggup bermanuver macam Harmoko sebentar lagi? Semoga!

Tebing Tinggi 24 Mei 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun