Mohon tunggu...
Bob Martokoesoemo
Bob Martokoesoemo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Konsep yang abstrak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tahun ke 6

29 Juli 2012   08:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:29 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dan bayangan itu bertepuk tangan menikmati pertunjukanku.
Aku masih bekerja lagi hingga 2 jam kemudian, oh ya, seseorang yang tadi melihatku memberi uang 10 ribu, lumayanlah untuk beli gorengan. Kembali aku terpikir tentang ayah dan sakit kerasnya. Aku harus cepat mempersiapkan diri jikalau suatu saat aku akan seperti ayah yang sakit keras, apakah aku bisa berjalan jalan lagi? Setidaknya akan kulepaskan jiwaku untuk berjalan jalan mencari tubuh tubuh yang sunyi, di lingkunganku sepertinya banyak tubuh yang sunyi atau tubuh yang rusak tanpa jiwa, biarlah kusinggahi walau ragaku tak lagi merekah, seperti ayah sekarang. Tapi aku tak ingin begitu, biarlah aku berjalan dan terus berjalan sambil membawa kertas kertas berisi Iwan, Afrizal, Chairil, Nietzsche,  Whitman, Beckett, Kafka, dan semuanya yang gila. Biar aku menjadi lakon untuk panggungku sendiri, biar aku menjadi orang brengsek, orang wanita, orang yang imbisil, orang lumpuh, orang buta, nenek dan kakek tua, dan macamnya lagi. Aku tak keberatan. Banyak orang orang yang tak sadar peran yang mereka mainkan sendiri, mereka sungguh aktor dan aktris pertunjukan yang baik, akting mereka layak diacungi jempol, sejatinya dunia adalah lembaga pelatihan yang baik untuk menempa aktor calon pemain drama yang menuntut improvisasi. Sebab kehidupan senantiasa butuh kegesitan ditengah sengkarut yang melumurinya.  Wah, uang segini sudah cukup untuk beli tiket sepertinya, sudah dulu ah. Keringatku basah menempel pada dahi, tapi aku puas, selalu puas, senang menghantam muka muka mereka yang lewat, muka muka rata mereka, hati hati mereka yang kering akan siraman kata kata magis yang sering kubacakan.

Kubawa satu saja baju, yang penting adalah buku buku. Peralatan mandi, tak perlu sama sekali, aku tak akan membawanya, mereka di kampung tak memakai sabun atau shampoo untuk membersihkan dirinya. Desaku, sejauh ingatan menapak,  berhasil kulalui samar samar, menyediakan segalanya untuk kebersihan. Tasku sudah cukup berat, celana dan kaos sudah kukenakan, sepatu sudah kuikat dengan rapi, topi pet, mantel yang kusampirkan di bahu, kantong tidur yang kujinjing. Aku menuju loket bus malam PO.Baru Klinting, memesan tiket menuju desa kewangen, sepertinya daerah Purworejo, maka aku bilang Purworejo kepada tante yang tak kukenal di balik loket. Berangkat jam 7 malam, aku menunggu di tempat duduk, menghisap rokokku yang sekarang berwarna putih.

Tertidur. Rupanya aku tertidur, sekarang pas jam 7, berarti sudah 2 jam aku tertidur. Buru buru aku menuju bus malamku, kuinjak tangga kecil untuk naik, kukembangkan senyumku yang cukup masam, jika kulihat sendiri di cermin, dan ketika itu sebuah tangan mengembang, menghentikan langkahku. ‘Will, maaf, sampai disini saja, sudah cukup, turun kau.’ Nada yang diucapkan dingin saja, aku memandang matanya sejenak, tampak acuh tak acuh dan cukup sejuk. Tapi aku tak bisa terima, sudut mulutku sedikit bergetar, mataku semakin nyalang memandang, dan hampir saja tinjuku mengepal, dan ia sudah mendorongku dengan kasar: ‘Turun!!! Dan ini untukmu!’ , aku terjerembab jatuh dan ia melempar sebuah benda tipis dengan kasar ke mukaku, tapi karena benda itu tak punya berat  maka melayang layang dulu selama beberapa menit di udara, kuperhatikan gerakannya yang mengagumkan, mendayu dayu  tertiup angin. Dan akhirnya jatuh ke ke atas hidungku, kuambil dan kubaca.

Perih. Perih, terkena pisau tajam memotong urat nadi perasaanku, terpaku pada satu kata: meninggal. Apa kata kernet tadi? ‘Pulanglah, tapi jangan bersamaku, aku tak sudi. ‘ Jadi ayah sudah meninggal? Kenapa ayah meninggal? Kenapa ayah tak mau menungguku, kenapa ayah langsung menyerah pada nasibnya, kenapa kenapa kenapa kenapa kenapa. Tiba tiba hitam.

‘Sudah tahun ke berapa ini?’

‘Tahun keenam, pak’

‘Dan ia masih seperti ini saja, sungguh sungguh manusia tragis’

‘Ya pak, lihat saja punggung tangan Sarmat sudah jadi hitam sekali karena setahun sekali harus memukuli Will’

‘Suruh ia berobat, seperti biasa’

‘Baik pak’

‘Mana Buntar? Ia ada di tempat Will kah?’

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun