Mohon tunggu...
Itok Aman
Itok Aman Mohon Tunggu... -

Pemuda yang mencintai komedi dan dunia petualangan. Facebook: Itok Aman -- Instagram: @bob_kristo23 -- Youtube: Bob Itok -- Twitter: @bob_itok

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akal Budi dan Potensi Bunuh Diri

31 Januari 2019   01:35 Diperbarui: 31 Januari 2019   06:15 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Bunuh diri menjadi trending topic yang mengerikan dalam setiap perbincangan pada kehidupan sosial kita. Bunuh diri adalah sebuah tindakan sengaja yang menyebabkan kematian diri sendiri. Bunuh diri seringkali dilakukan akibat putus asa, yang penyebabnya seringkali dikaitkan dengan gangguan jiwa misalnya depresi, gangguan bipolar, skizofrenia, ketergantungan alkohol/alkoholisme, atau penyalahgunaan obat. Dengan berbagai macam cara, seseorang nekad menumpas kehidupannya sendiri. Ada yang dengan membakar diri, ada yang dengan menggantung diri, ada pula dengan yang menenggak racun, juga ada yang membuang diri ke jurang, ataupun dengan berbagai macam cara yang lainnya agar bisa dengan sengaja mengakhiri perjalanan hidupnya sendiri. Faktor genetika pun bisa memicu bunuh diri. Menurut laporan World Health Organization (WHO), sebuah organisasi kesehatan dunia, sekitar lebih dari satu juta orang melakukan bunuh diri setiap tahunnya di seluruh dunia. Bahkan menurut laporan tersebut, jumlah korban bunuh diri lebih tinggi dari jumlah korban perang ataupun konflik-konflik lainnya. Kebanyakan bunuh diri, atau lebih dari 78%, terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. 

Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan Frank Westerhoff, seorang profesor dari University of Bamberg, menunjukkan, dalam setiap 40 detik, ada orang yang bunuh diri di berbagai tempat di dunia ini. Setiap 3 detik, ada orang yang mencoba melakukan bunuh diri. (Westerhoff, 2009). Fakta di atas hendak menunjukkan bahwa, kita cendrung gagal dalam mengolah kehidupan, pasrah pada keadaan dan mengambil jalan pendek untuk menghabisi nyawa.

Bunuh Diri dalam Sorotan Filsafat

Filsuf Jerman, Immanuel Kant, juga mencoba mempertimbangkan hal ini. Ia merumuskan suatu prinsip yang dikenal sebagai prinsip imperatif kategoris; “Bertindaklah sesuai dengan motivasi tindakan yang bisa diterapkan sebagai hukum universal”. Prinsip Kant hendak menunjukkan bahwa, kita diajak melakukan tindakan yang motivasinya bisa disetujui oleh semua orang. Dalam konteks imperatif kategoris Kant, tindakan bunuh diri tidak dapat dibenarkan. Kant menegaskan, bahwa bunuh diri adalah sebuah tindakan pelanggaran hak dan kewajiban orang terhadap dirinya sendiri.

Filsuf idealisme Jerman lainnya, Johann Gottlieb Fichte, memiliki pandangan yang berbeda dengan Kant. Di dalam bukunya yang berjudul das System der Sittenlehre (1798), Fichte menegaskan bahwa orang membutuhkan keberanian besar untuk mengakhiri hidupnya. Namun, dibutuhkan keberanian yang lebih besar lagi untuk menjalani hidup dengan segala jatuh bangunnya.

Fichte menyodorkan sebuah model kehidupan yang menekankan pada ‘nyali’ yang lebih besar untuk mendobrak setiap soal yang dihadapi dalam kehidupan. Fichte sebetulnya memberikan pilihan untuk mematahkan kecendrungan bunuh diri sebagai tindakan pengecut dan menawarkan keberanian yang besar untuk bertahan dalam badai persoalan hidup yang sedang dihadapi.

Siapakah yang Mengambil Peran?

Semakin maraknya kasus bunuh diri di Indonesia, mengajak kita untuk kembali bertanya pada diri kita masing-masing sebagai bentuk refleksi diri; Siapakah yang bertanggung jawab dalam persoalan ini? Penulis coba menyodorkan beberapa poin penting yang setidaknya bisa membantu dalam mengurangi kasus bunuh diri di Indonesia.

Pertama, Peran Keluarga dan Lingkungan Hidup. Keluarga merupakan pusat dari semua kegiatan setiap orang. Konflik interpersonal, hubungan yang terganggu dan kehidupan yang tidak harmonis merupakan faktor pencetus yang determinan dalam tindakan bunuh diri. Faktor genetika juga bias memicu terjadinya bunuh diri. Livia Iskandar, seorang psikolog, mengatakan riwayat bunuh diri dalam keluarga dapat membuat anggota keluarga tersebut menjadi lebih rentan melakukan hal yang sama. Ketika lingkungan terdekat seperti keluarga dan teman tidak peduli akan stres yang dirasakan seseorang, maka dapat membuat dia kehilangan harapan.

Oleh sebab itu, keluarga seharusnya mampu mengambil peran yang efektif dengan berbagai cara, misalnya; mengidentifikasi tanda-tanda dari stres dan kecenderungan bunuh diri, membina hubungan yang erat dengan pelaku, penuh perhatian, mendengarkan, menghargai perasaan serta memahami emosinya. Apakah kita berpikir untuk tetap berusaha membunuh diri? Bukankah manusia adalah satu-satunya makhluk yang berakal budi?

Kedua, Peran Agama. Agama juga sangat menjadi elemen penting dalam mengambil perannya untuk mengatasi masalah bunuh diri, dengan doktrin setiap agama dan juga berbagai macam cara yang berkaitan dengan peneguhan iman dan pendekatan secara kerohanian. Ketiga, Peran Masyarakat. Masyarakat juga tidak kalah pentingnya dalam mengatasi masalah ini. Sebagaimana dalam filsafat sosial bahwa pembentukan karakter pribadi seseorang bisa dipengaruhi oleh pergaulannya dalam dunia masyarakat (homo socialis). Misalnya dengan cara pendekatan-pendekatan yang seperti dilakukan oleh pihak keluarga dan agama di atas, juga melibatkan mereka dalam kegiatan sosial atau rekreasi agar mereka terus berinteraksi. Mendengarkan dan menawarkan dukungan sehingga mereka memiliki rasa optimis untuk tegar dan bangkit dari keterpurukan yang membelenggu privasinya. Dan yang paling penting dari masyarakat adalah tidak membiarkan mereka merasa tersudutkan sehingga mengakibatkan mereka semakin merasa minder.

Keempat, peran Dunia Pendidikan. Akhir-akhir ini bunuh diri pada anak dan remaja semakin meningkat. Penyebab utamanya (bisa jadi) adalah kegagalan di sekolah, masalah tekanan dari orangtua, tuntutan prestasi sekolah terlalu tinggi, biaya sekolah, biaya hidup, putus cinta dan konflik lainnya. Perilaku yang merusak kepribadian remaja seperti merokok, meminum minuman beralkohol dan kegiatan seks bebas juga semakin meningkat. Sekolah dan perguruan tinggi berfungsi sebagai tempat membangun kehidupan individu dan dapat memainkan peranan penting dalam mencegah perilaku merusak diri tersebut dengan cara memberikan pendidikan keterampilan hidup yang dikombinasikan dengan pendekatan pemecahan masalah merupakan modal untuk menghadapi dan mengatasi masalah dengan cara yang realistik dan optimistik.

Kelima, Peran Pemerintah. Bunuh diri juga merupakan sebuah persoalan yang perlu menggugah perhatian khusus dari pihak pemerintahan dengan cara melibatkan kerja bersama dunia kesehatan untuk melakukan penyuluhan dan pendekatan secara psikologis.

Pemerintah bisa menyelenggarakan kegiatan seperti kompetisi olahraga, maupun mengadakan kegiatan perlombaan yang bersifat akademik atau non-akademik dengan melibatkan remaja dan anak-anak. Di ssanalah mereka diberikan ruang untuk menunjukan prestasi dan eksistensi mereka dalam kehidupan bermasyarakat.

Keenam, Peran Media. Media bisa memainkan peran pentingnya dalam mencegah bunuh diri, dengan melaporkan tragedi itu secara bertanggungjawab. Orang sering enggan membicarakan bunuh diri karena stigma yang ada. Pelaporan berita yang tidak bertanggungjawab bisa mendorong tindakan bunuh diri pada mereka yang meniru bunuh diri yang dilihat atau dibaca, dan meningkatkan resiko tersebut. Dalam hal ini, wartawan bisa membantu mengatasi stigma ini dengan mendorong orang untuk mencari pertolongan dan berbicara secara terbuka tentang tekanan yang mereka hadapi.

Peran media dalam pemberitaan kejadian bunuh diri dapat menjadi dua sisi mata pisau. Di satu sisi bisa menjadi alat pencegahan, tetapi di sisi lain justru dapat mendorong korban untuk meniru. Sehingga perlu formula yang tepat untuk merumuskan peran media dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang usaha pencegahan bunuh diri. Dapat berupa iklan layanan masyarakat, yang mengajak orang-orang untuk lebih perhatian terhadap keluarga, kerabat, dan teman terutama apabila sudah ada kecenderungan perilaku negatif ketika orang tersebut menghadapi sebuah permasalahan yang sulit. Hal ini juga melibatkan peran dunia pendidikan, Tokoh Agama, Politisi, dan Lingkungan/Keluarga terdekat 

Fenomena bunuh diri juga dapat dipicu oleh suicide contagion atau bunuh diri yang menular. Pernah ada sebuah penelitian di Amerika Serikat bahwa di kalangan remaja terjadi suicide contaigion. Mereka melakukan bunuh diri hanya untuk mencoba-coba dan membuktikan dirinya hebat. Fenomena bunuh diri yang menular dapat pula dipicu oleh pemberitaan media yang tidak proporsional. Semakin sering suatu tempat diberitakan digunakan untuk bunuh diri, semakin banyak yang akan mencontoh. Hal ini karena memunculkan preokupasi (pikiran berulang) untuk bunuh diri, sehingga dapat memberi ilham metode bunuh diri.

Bunuh diri adalah tindakan sadar menuju kematian. Sejatinya setiap orang pasti akan mati. Hanya waktu, proses dan tempat yang membedakan. Kita semua berjalan ke arah yang sama, yakni ke liang kubur, atau laut biru nan luas sebagai abu di antara ikan dan ganggang.

Dengan demikian, sebagai penutup, pertanyaan yang mengintrospeksi diri kita sebagai manusia berakal budi adalah: apakah kita berpikir untuk tetap berusaha membunuh diri? Bukankah manusia adalah satu-satunya makhluk yang berakal budi? Apakah kita lebih rendah dari hewan dan tumbuhan oleh karena mengambil sikap membunuh diri kita sendiri? Semoga tulisan reflektif ini mampu memberi makna yang berarti menjalani hidup sesuai dengan fungsinya saat demi saat secara jernih.

Oleh sebab itu, sangat penting untuk belajar lebih, menyadari  keadaan diri sendiri. Banyak membaca, banyak sharing atau jika suatu masalah dirasa tidak bisa kita selesaikan sendiri, bisa juga bekonsultasi dengan ahlinya yang bisa dipercaya memiliki potensi agar lebih cepat tertangani. Pada intinya kejadian-kejadian bunuh diri yang pernah terjadi sebelumnya mengingatkan kita untuk lebih aware (menyadari) dengan kesehatan mental kita, bukan hanya kesehatan fisik. Sebab setiap persoalan selalu mempunyai hikmah yang kita ambil, setiap masalah adalah jalan untuk mendewasakan diri, bergantung pada bagaimana kita bias saling membenah diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun