Hai Kompasianer, apa kabar? Semoga kalian semua panjang umur, sehat selalu, sukses selalu, banyak rejeki dan banyak amal baiknya. Sudah lama saya absen menulis. Sejak 8 Desember 2023 lalu, saya sudah pensiun dari Serikat Buruh Migran Indonesia. Sekarang saya nyaleg di Dapil DKI Jakarta II meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Luar Negeri. Setelah nyaleg, saya mendapatkan temuan tentang Pemilu yang tidak menguntungkan bagi Buruh Migran Indonesia.
Pendahuluan. Sudah menjadi pengetahuan umum jika proses pemungutan suara dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah dan sedang dilaksanakan oleh sebagian Warga Negara Indonesia di Luar Negeri. Jadwal Pemilu di luar negeri dimulai sejak 2-14 Februari 2024. Pemilu di luar negeri dilaksanakan melalui tiga cara yaitu: Pertama, melalui pos yang dilaksanakan sejak 2 Februari 2024. Kedua melalui Kotak Suara Keliling (KSK) yang dilaksanakan sejak 4 Februari 2024, dan datang ke Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri (TPSLN) yang sudah di jadwalkan. Â
Menurut filosofinya, tujuan penyelenggaraan Pemilu salah satunya adalah untuk menjamin prinsip keterwakilan. Artinya setiap Warga Negara Indonesia (WNI) termasuk Buruh Migran Indonesia (BMI) dijamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan. Bertugas menyuarakan suara BMI, melalui tiga kewenangannya: membuat aturan, membuat anggaran dan pengawasan di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah. Referensi ini bisa dibaca pada penjelasan Undang Undang Pemilu.
Akan tetapi tujuan mulia itu terhalang tembok tebal dengan lapisan-lapisan persoalan. Pemilu masih sekadar formalitas demokrasi. Ujungnya Pemilu tidak bermanfaat bagi BMI, Pemilu tidak menguntungkan bagi BMI. Pemilu akan menguntungkan jika melahirkan banyak wakil BMI di lembaga perwakilan. Sebaliknya, hingga saat ini Pemilu tidak melahirkan wakil BMI. Ini menjadi masalah besar bagi BMI. Lalu apa masalahnya?
Pertama, persoalan pendataan. Pada tahun 2016, Bank Dunia berhasil mendata jumlah BMI di luar negeri sebanyak kurang lebih 9 juta. Data ini masih sering menjadi rujukan pemerintah. Data lainnya menyebutkan ada 4,7 juta BMI yang bekerja di luar negeri, seperti versinya Kemnaker atau BP2MI. Dan ada data lain Tetapi data ini sangat timpang dengan data KPU yang menetapkan bahwa jumlah pemilih luar negeri sebanyak 1,7 juta. Jika bilangan pembagi kursinya 300 ribu, maka seharusnya BMI memiliki 30 perwakilan di DPR. Tetapi karena persoalan data tersebut, akhirnya BMI kehilangan 24 wakilnya. Terlebih lagi jika masih menyisakan data ganda seperti temuan Migrant Care di Amerika dan Malaysia. Maka tingkat kehilangan keterwakilannya semakin banyak. Â
Kedua, persoalan penggabungan Daerah Pemilihan (Dapil) luar negeri dengan Jakarta. Penggabungan Dapil Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Luar Negeri sangat merugikan bagi BMI. Karena ini dua entitas yang berbeda, persoalan dan kepentinganya berbeda. Solusinya juga berbeda. Maka wakil rakyat yang akan terpilih nanti tidak jelas mewakili siapa. Apakah warga Jakarta atau BMI di luar negeri? Jika keterwakilannya tidak jelas, konsentrasi perjuangannya tidak fokus. Terus kenapa tidak dipisah saja? Secara kuantitas, jumlah pemilih Jakarta Pusat dan Selatan itu lebih dari cukup untuk menjadi Dapil sendiri yaitu 2.175.488. Dan begitu juga Dapil luar negeri yang jumlahnya mencapai 1.750.474. Sudah cukup menjadi kluster sendiri. Data KPU menunjukkan ada 14 Dapil yang jumlah pemilihnya dibawah Dapil luar negeri yaitu: 1). Kepulauan Riau:1.500.974, 2). Bengkulu:1.494.828, 3). Maluku:1.341.012, 4). Papua Pegunungan:1.306.414, 5). Papua Tengah:1.128.844, 6). Bangka Belitung:1.067.434. 7). Sulawesi Barat:985.760, 8). Maluku Utara:953.978, 9). Gorontalo:881.206, 10). Papua:727.835, 11). Kalimantan Utara:504.252. 12). Papua Barat Daya:440.826, 13). Papua Barat:385.465, dan 14). Papua Selatan:367.269. Keputusan tentang ini sebaiknya di PTUN.
Ketiga. Teknis pemungutan suara. Meskipun ada tiga cara dalam proses pemungutan suara di luar negeri, tetapi fakta membuktikan jika partisipasi pemilih di luar negeri itu rendah. Padahal datanya sudah banyak tereduksi. Tetapi partisipasi pemilih di luar negeri pada Pemilu 2019 hanya 42,1% di Pileg dan 42,54% di Pilpres.
Entah harus melakukan evaluasi model apa lagi untuk meningkatkan partisipasi pemilihan di luar negeri. Pada contoh kasus TPSLN, masyarakat banyak menyorot persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) disetiap negara itu jumlahnya berbeda-beda. Ada yang jumlahnya banyak ada yang sedang dan ada yang sedikit. Seharusnya ada kebijakan jumlah TPSLN harus menyesuaikan dengan sedikit atau banyaknya DPT. Tidak boleh disamakan. Karena penyamaan jumlah TPSLN akan menimbulkan antrean panjang bagi pemilih dan eksploitasi bagi petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN).
Pada kasus Kotak Suara Keliling seberapa kuat dan rajin para petugas KPPSLN untuk bisa menjangkau komunitas BMI sampai ke lokasi terpencil, termasuk seberapa kuat tenaganya iman jurdilnya dalam melaksanakan pemungutan dan penghitungan. Jika tidak maka akan berdampak pada penurunan partisipasi.