Mohon tunggu...
Bobi Anwar Maarif
Bobi Anwar Maarif Mohon Tunggu... Buruh - Caleg Buruh Migran

Memperjuangkan hak dan kepentingan Buruh Migran Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Refleksi 5 Tahun Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

22 November 2022   18:51 Diperbarui: 22 November 2022   21:26 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakabar saudara-saudariku, semoga kalian baik-baik saja. Turut berduka cita untuk saudara-saudari di Cianjur atas musibah yang menimpa. Semoga pemerintah dapat bertindak cepat untuk membantu.

Tidak terasa, tepat pada hari ini (22 November 2022) usia Undang Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), sudah mencapai usia yang ke 5 tahun. Pada usia ini seorang balita sudah pintar berlari, bahkan jungkir balik. Balita diusia ini juga bisa makan sendiri, mengucapkan kata-kata serta memakai baju sendiri. 

Bagaimana implementasi UU PPMI diusianya yang sudah 5 tahun ini? Apakah sudah bisa berlari dengan capaian-capaiannya? Apa saja capaiannya dan apa  saja tantangannya?

Berdasarkan hisstorinya, memperjuangkan penerbitan UU PPMI ini memakan waktu selama 7 (tujuh) tahun. Dari tahun 2010 sampai dengan 2017. Undang Undang ini merevisi Undang Undang sebelumnya yang dinilai lebih banyak mengatur bisnis penempatan ketimbang pelindungannya. Jadi UU PPMI ini memiliki semangat perubahan, antara lain:

  • Pertama, memiliki tujuan yang jelas yaitu menjamin pemenuhan dan penegakan hak asasi PMI, menjamin pelindungan hukum, ekonomi, dan sosial PMI dan keluarganya.
  • Kedua menjadikan Pekerja Migran Indonesia lebih aktif, tidak tergantung pada calo. Hal itu bisa dilihat dari kebijakan menghapus istilah perekrutan. Tugas dan tanggung jawab Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) juga dikurangi. Jadinya seperti travel agen.
  • Ketiga, layanan tidak terpusat di Ibu kota. Layanan dilaksanakan di Provinsi atau Kabupaten/kota bernama Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). Jadi semakin dekat dengan tempat tinggal calon PMI. Kemudian dalam hal ini ada aturan tentang pembagian tugas dan tanggaung jawab antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa. Ada prinsip keterpaduan, persamaan hak, pengakuan atas martabat dan hak asasi manusia, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, nondiskriminasi, anti-perdaganganmanusia, transparansi, akuntabilitas dan berkelanjutan.
  • Keempat, ada pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas antara regulator (Kemnaker) dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan Kemlu.
  • Kelima, dalam hal pembiayaan, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten memiliki tugas dan tanggung jawab bersama dalam memfasilitasi pendiaikan vokasi kepada calon PMI. Dengan kebijakan seperti ini, beban biaya CPMI tidak lagi mahal, bahkan bisa gratis, karena calon pemberi kerja dan pemerintah turut andil membayar biaya penempatan.
  • Keenam, memasukkan jenis pekerjaan awak kapal niaga migran dan awak kapal perikanan migran yang bekerja di luar negeri. Area pelindungan UU PPMI menjadi berimbang antara darat (land base) dan laut (sea base).
  • Ketujuh, mengatur berbagai jenis pelindungan berdasarkan phase dan bidang. Pelindungan berdasarkan phase yaitu phase sebelum berangkat, selama bekerja dan setelah bekerja. Pelindungan berdasarkan bidang yaitu pelindungan hukum, ekonomi dan sosial.  

Sepertinya jika kita melihat dari semangat itu, nampak sangat bagus sekali. Apakah pelaksanaannya sebagus itu?

Berdasarkan penilaian penulis, implementasinya juga bagus, hanya saja ada beberapa kekurangan yang menyebalkan. Terlebih jika melihat data kasus BP2MI yang sangat serem itu. Dari tahun 2020 sampai September 2022, tercatat ada 1445 PMI yang meninggal dunia. Anehnya berita ini dianggap seperti biasa saja, bukan sebagai kejadian luar biasa. Selain itu ada 79.652 PMI yang mengalami permasalahan di luar negeri karena ditempatkan secara unprosedural atau ilegal, dan 3051 yang mengalami sakit di tempat kerjanya. Padahal jasanya sangat besar sekali dalam mendulang devisa negara. Pemerintah Indonesia tidak usah beli dolar, karena transaksi pengiriman uang (remitansi) dari luar negeri ke Indonesia dipastikan menggunakan dolar terlebih dahulu.

Ada kendala yang luar biasa berat, dalam pelaksanaan UU PPMI, antara lain:

Pekerja Migran Indonesia (PMI) disuruh aktif mendaftar sendiri, tidak melalui calo, tetapi tidak disediakan alatnya yang bisa diakses. Tetapi penulis mendengar berita sedap, jika ditahun ini akan diluncurkan sistem informasi untuk memutus mata rantai percaloan. Sistem Infoemasi itu bernama siapkerja.kemnaker.go.id. Dengan adanya sistem informasi ini dipastikan CPMI akan mencari lowongan kerja luar negeri langsung dari telepon genggamnya, setelah melakukan registrasi. Jawa Timur sebenarnya bisa menjadi percontohan dalam sistem informasi ini. Sistem informasi itu bernama simpadu pekerja migran, bahkan sudah ada aplikasi androidnya yang bisa diunduh di playstore. Semoga Kemnaker serius membangun sistem informasi "siapkerja" itu.

Keterlambatan dan rumitnya birokrasi dalam penerbitan aturan turunan atau aturan pelaksana. Pengajuan program penyusunan (prosun) Peraturan Pemerintah yang diajukan oleh pemrakarsa (Kemnaker) baru ditetapkan pada tahun 2019. Tidak heran jika kemudian prosun ini ada yang baru terbit pada tahun 2022 (PP Pelindungan Awak Kapal Migran). Padahal seharusnya sudah selesai di tahun 2019 itu.

Keterlambatan ini juga berdampak pada penerbitan peraturan BP2MI tentang Pembebasan Biaya Penempatan yang baru diterbitkan pada tahun 2021. Yang lebih memperihatinkan, sudahlah terlambat, tidak bisa dilaksanakan pula, karena biaya pelatihan tidak dianggarkan secara bersama oleh pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Terus kapan sinergi dan koordinasinya pak?

Keterlambatan penerbitan aturan pelaksana atau aturan turunan juga berdampak pada keterlambatan pelaksanaan di pemerintah provinsi dan kabupaten serta desa. Hingga tahun 2022 ini, baru ada tiga pemerintah provinsi yang telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) pelaksanaan pelindungan yaitu, Jawa Barat, Bali dan Jawa Timur. Sekitar 5 (lima) kabupaten juga sudah menerbitkan Perda. Alhamdulilah, mereka sudah berani maksain karena menunggu selesainya aturan turunan di pusat itu kelamaan. Dengan adanya Perda tersebut, Pemkab menganggarkan biaya operasional untuk LTSA dalam melayani proses penempatan PMI. Kenapa program Kemnaker dalam pendirian 45 LTSA di daerah banyak yang tidak berjalan, itu karena tidak didukung oleh anggaran daerah yang diatur dalam Perda.

Bagaimana dengan pelaksanaan pelindungan PMI ditingkat pemerintah desa?  dari 1082 desa yang disurvey oleh SBMI, IOM dan UNDP pada tahun 2021, dapat menggambarkan situasi perlindungan PMI di tingkat desa. Dari desa tersurvey, hanya 19,13% pemerintah desa yang memiliki data PMI, sisanya 80,87% tidak memiliki. Temuan survey lainnya hanya 18, 85% pemerintah desa yang menyediakan informasi. Dan sebanyak 94,45% tidak memiliki Peraturan Desa (Perdes) tentang Pelindungan PMI dari desa. Program Kemnaker sudah membuat projek pelindungan PMI di tingkat desa. Program tersebut bernama Desa Buruh Migran Produktif (Desmigratif).

Sekian dulu refleksi yang dapat saya tulis tentang 5 tahun Undang Undang No. 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Penulis berharap semoga catatan kecil ini bermanfaat untuk ngegas perbaikan dan pemajuan hak Pekerja Migran Indonesia kedepannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun