Tulisan saya di Kompasiana terdahulu terhapus semua, mungkin karena saya lupa ngurus premium. Saya juga sudah lama tidak menulis lagi di Kompasiana. Kangen juga.
Hari ini saya memenuhi undangan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja dari Kementerian Ketenagakerjaan. FGD ini dilaksanakan di Hotel Ciputra Grogol Jakarta. FGD ini berjudul "Penguatan Jejaring Pemangku Kepentingan Dalam Negeri untuk Meningkatkan Akses Pendidikan bagi Anak ekerja migran yang tinggal di Indonesia
Berdasarkan data Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Kemensos pada tahun 2018, 25% anak pekerja migran Indonesia tidak bersekolah. Hal itu diakibatkan karena tidak memiliki kartu kependudukan yang lengkap yang menjadi persyaratan. Data ini menjadi penting disorot karena pemerintah telah berupaya menjamin hak dasar anak tentang pendidikan. Ini termaktub dalam pasal 31 UUD 1945.Â
Menurut Direktur Bina Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Kementerian Ketenagakerjaan, Rendra Setiawan, mengatakan bahwa Kemnaker juga berupaya menjangkau agar hak anak pekerja migran Indonesia dapat terpenuhi melalui program Desa Buruh Migran Produktif (Desmigratif). Â Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 2/2019 Tentang Pemberdayaan Komunitas Pekerja Migran Indonesia di Desa Migran Produktif.Â
Desmigratif memiliki 4 pilar yaitu: 1).membentuk pusat layanan migrasi, 2).menumbuhkan usaha produktif, 3).pembentukan komunitas pembangunan keluarga atau comunity parenting dan 4). menumbuhkembangkan koperasi.Â
Dalam hal pemenuhan hak pendidikan bagi anak Pekerja Migran Indonesia, pendekatan desmigratif dilakukan melalui comunity parenting. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pelaksanaan bimbingan baca, tulis, hitung, kesenian, olah raga, internet sehat, dan kerohanian.Â
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) berkepentingan agar program ini berjalan baik di lapangan. Oleh karenanya turut mengusulkan sejumlah desa dilibatkan dalam program tersebut. Namun setelah desa-desa tersebut ditetapkan, pengawalan tersebut menjadi terhambat akibat kebijakan kepala desa yang bersifat politis lebih mengutamakan 'orangnya' sebagai petugas Desmigratif dibanding perwakilan komunitas dan atau organisasi buruh migran yang lebih kompeten dalam pemberdayaan pekerja migran Indonesia.Â
Alhasil, akibatnya program baik itu tidak berjalan baik. Â Dijalankan sampai selesai, setelah habis waktunya, program itu tidak berkelanjutan. Padahal menurut Permenaker 2/2019 tersebut, program itu kedepannya dapat berkelanjutan dengan disupport oleh anggaran pemerintah daerah ataupun pemerintah desa.Â
Jika demikian, bagaimana dapat mengurangi masalah hak anak Pekerja Migran Indonesia yang angkanya mencapai 25% itu? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H