Sejumlah data menunjukkan bahwa mayoritas Pekerja Migran Indonesia (PMI) adalah perempuan. Persentasenya antara 62-75%. Tidak heran jika kemudian Komnas Perempuan menyebutnya sebagai 'migrasi berwajah perempuan'.Â
Meskipun pemerintah sudah menerbitkan aturan baru yaitu Undang Undang No 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia(UU PPMI), namun demikian PMI masih banyak mengalami persoalan sejak sebelum bekerja, pada saat bekerja maupun setelah bekerja di luar negeri.Â
Terlebih ketika memasuki masa pandemi, secara kuantitas jumlahnya naik secara signifikan. Kementerian Luar Negeri mencatat dari 24.465 kasus pada tahun 2019, di tahun 2020 angkanya meningkat hingga 43.000 kasus. Data BP2MI mencatat ada 700 PMI meninggal dunia selama masa pandemi. Ini sangat memprihatinkan.
Permasalahan yang dialami oleh PMI, tidak lepas dari persoalan kebijakan. Hingga saat ini pemerintah belum berhasil menerbitkan sejumlah aturan turunan dari UU PPMI. Aturan turunan yang seharusnya sudah terbit sejak 22 November 2019 lalu sebagaimana mandat pasal 90 UU PPMI. Â Â
UU PPMI memandatkan 27 aturan turunan, kemudian disederhanakan atau disimplifikasi menjadi 13 aturan turuan. 13 aturan tersebut yaitu 3 Peraturan Pemerintah, 2 Peraturan Presiden, 5 Peraturan Menteri, dan 3 Peraturan BP2MI.Â
Keputusan Presiden No 11 tahun 2019 tentang Program Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah di tahun 2019, merupakan kesungguhan Joko Widodo dalam kebijakan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia baik di sektor laut (sea base) maupun sektor darat (land base).Â
Dalam Kepres yang diterbitkan pada 15 April 2019 tersebut Joko Widodo memutuskan pembahasan dua Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), yaitu pertama: RPP tentang Pelaksanaan Pelindungan PMI dan kedua Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Perikanan. Â
Pada praktiknya Kementerian Ketenagakerjaan lebih mendahulukan penerbitan Peraturan Menteri dari pada peraturan yang lebih tinggi seperti Peraturan Pemerintah. Hal tersebut terjadi karena pembahasan Peraturan Pemerintah melibatkan banyak Kementerian dan Lembaga. Pelibatan ini menimbulkan gesekan kepentingan kewenangan yang tajam dan mengakibatkan durasi pembahasan memakan waktu yang lebih lama, bahkan mandat Kepres untuk pembahasan itu terkesan seperti mangkrak. Â
Untuk itu maka, Presiden Joko Widodo harus bertindak, harus turun tangan kembali untuk menunjukkan keberpihakannya kepada Pekerja Migran Indonesia sebagaimana periode awal 5 tahun pertama menjabat. Pada periode ini, kekuatan kepemimpinannya berhasil merevisi Undang Undang 39 tahun 2004 yang sempat mangkrak selama 7 tahun. Atau menduplikasi kesuksesannya di periode kedua yang berhasil menerbitkan 49 aturan turunan dari Undang Undang Cipta Kerja pada 21 Februari 2021 kemarin.
Penerbitan RPP itu sangat penting, karena akan berimplikasi pada pelaksanaan UU PPMI dan berdampak meluas pada penerbitan Peraturan Daerah (Perda).Â
Sejumlah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) terkendala untuk menerbitkan Perda karena dikhawatirkan akan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Meskipun ada yang nekat dan kemudian berani menerbitkan Perda Pelindungan PMI, seperti yang dilakukan oleh Pemkab Indramayu, tetapi tidak semua Pemkab memiliki keberanian yang sama. Â