Mohon tunggu...
Bobby Triadi
Bobby Triadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis sambil tersenyum

Lahir di Medan, berkecimpung di dunia jurnalistik sejak tahun 1998 dan terakhir di TEMPO untuk wilayah Riau hingga Desember 2007.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Revisi UU ITE dan Budaya Kritik

22 Februari 2021   08:18 Diperbarui: 22 Februari 2021   08:36 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi. /Instagram.com/@jokowi 

"Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya, saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini, karena di sinilah hulunya, hulunya ada di sini. Revisi," kata Jokowi. 

Sepenggal kalimat itu disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada publik ketika acara Perayaan Hari Pers beberapa waktu lalu. Kira-kira Pak Jokowi ingin mengatakan, "Silahkan kritik Pemerintah. Pemerintah suka dan berharap dikritik," itu penafsiran saya. 

Tidak ada yang aneh dari pernyataan itu. Biasa saja, lazim dalam demokrasi dan lazim pula dinyatakan oleh seorang Presiden. Bukan hal baru, apalagi pikiran anyar. 

Itu bisa menjadi angin segar atau hanya angin segar saja. Kenapa? Bukan rahasia jika beberapa tahun terakhir ini, ada kesan bahwa Pemerintah seperti kembali ke zaman prareformasi. Banyak orang ditangkap dengan berbagai alasan. Ada yang dituduh makar. Ada yang dituduh menyebarkan kebencian, fitnah, hoax, berita palsu dan sejenisnya. Hampir semua adalah yang berbeda posisi dan sikap terhadap Pemerintah.

Polanya sederhana. Ada yang seperti bertugas menjadi tukang lapor. Ada pula aparat (polisi) yang sangat cekatan segera memproses laporan, jika terlapor datang dari kelompok oposisi. Sebaliknya, jika terlapor adalah orang-orang yang pro pemerintah, dan terutama buzzer (baca saja influencer) Pemerintah, seperti dibiarkan atau terkesan dilindungi. Kesan seperti itu kuat sekali beredar di masyarakat.

Maka, ketika Presiden justru minta dikritik, publik terbelah. Ada yang husnudzan dan menyambut hangat. Ada pula yang pasang kuda-kuda dan lalu waspada. Jangan-jangan itu hanya manis di bibir, pahit di lidah. 

Ada yang khawatir itu hanya pernyataan “abang-abang lambe”, sekadar kata-kata manis yang kosong. Bahkan ada yang curiga pula. Jangan-jangan itu jebakan batman untuk menjerat kalangan oposan. Di medsos bahkan ada tagar #jebakanmukidi. Saya tidak bisa memastikan siapa yang dimaksud sebagai Mukidi. Silahkan dikira-kira sendiri.

Faktanya memang pernyataan Presiden itu menjadi isu yang penting. Pak JK pun kemudian ikut bertanya bagaimana cara mengkritik yang tidak mendatangkan panggilan polisi? Segera pernyataan Pak JK itu direaksi keras oleh para pembela istana. K

ata jubir Presiden sih Pemerintah tidak punya buzzer. Punyanya influencer. Terserahlah dibilang buzzer atau influencer atau pasukan pendengung, yang jelas rombongan ini secepat kilat dan bertubi-tubi menyerang Pak JK. Lalu, “bagaimana bisa mengkritik, kalau bertanya aja sudah diserang?” Kira-kira begitu reaksi balik Pak JK. Makin asik aksi saling balasnya.

Terkait dengan hal itu, ada rencana Pemerintah atau Pak Jokowi yang perlu direspon baik. Yakni usulan atau rencana untuk revisi UU ITE. Kenapa layak direspon dengan baik? 

Pertama, faktanya ada pasal-pasal karet yang setiap saat bisa mengancam dan meminta korban. Kedua, korban-korban juga sudah banyak bergelimpangan. Salah masuk wilayah abu-abu bisa berujung bui. Ini yang bikin cuaca kebebasan berpendapat menjadi pengap. Lalu, apakah ini dibiarkan saja?

Terlepas dari apa maksud dan tujuan terdalam dari gagasan revisi UU ITE dari Pak Jokowi itu, momentum ini jangan dibiarkan lepas. UU yang bikin cemas, waswas, khawatir dan bisa menekan kualitas kebebasan sipil haruslah diperbaiki. Revisi adalah koreksi dan perbaikan. Kalau omnibus law saja bisa tuntas dalam waktu singkat, apalagi UU ITE. Kalau Presiden dan DPR mau, pasti tidak perlu waktu lama. Apalagi hanya revisi terbatas.

Apakah perbaikan UU ITE bisa segera memperbaiki tata laksana kritik? Jangan berharap ayam muda bertelor segera. UU atau aturan memang berguna untuk mengedukasi pemimpin dan rakyat untuk berinteraksi secara patut dan produktif. Tapi, untuk hidupnya praktek demokrasi yang (salah satunya) dihiasi adanya kritik yang baik, perlu proses. 

Tidak bisa sekonyong-konyong. Tidak taken for granted, seperti jatuh dari langit. Pemerintah dan para pelaksananya harus belajar terbuka dan lapang dada. Siapa yg mampu? Yang kuat karakter dan dewasa. Pikirannya terbuka, hatinya lapang, kupingnya tebal. 

Rakyat, termasuk kaum oposan, juga harus belajar. Apa? Jauhkan kritik dari hoax, fitnah, berita bohong dan ujaran kebencian. Itulah kritik demokratik, kritik yang bermutu. Tidak waton suloyo, tidak asal bunyi. Kritik sebagai ekspresi oposisi juga harus berani setia kepada sistem. Karena sasaran kritik adalah kebijakan yang menyimpang dan menyeleweng dari sistem nasional yang disepakati bersama.

Proses belajar dua pihak itulah yang secara bertahap akan membangun budaya kritik. Kritik akan menjadi bagian penting dalam interaksi dinamis dan demokratis antara Pemerintah dengan rakyatnya. Kritik akan menjadi bagian organik dari proses dan hasil kebijakan. Proses pembuatan kebijakan menyerap kritik. 

Pelaksanaan kebijakan menampung kritik. Evaluasi kebijakan dari hasilnya juga tidak jauh dari kritik. Itulah masa ketika kritik sudah terbingkai dalam sebuah budaya. Budaya kritik. Kapan? Jawabannya: yang penting harus berani belajar dari sekarang.

Jangan tunda. Jangan nanti-nanti saja. Semakin ditunda, kedewasaan akan tetap jauh di seberang cakrawala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun