[caption id="attachment_325599" align="aligncenter" width="446" caption="illustrasi (foto: antara)"][/caption]
Selayaknya hukum berdiri sendiri dan hukum adalah dewa keadilan yang berdiri diatas segala-galanya. Berdiri lebih tinggi dari kekuasaan pemerintahan dan lebih tinggi diatas politik. Hakekatnya, hukum itu netral dilambangkan dengan timbangan yang adil, tidak berat ke kiri dan tidak pula berat ke kanan. Lembaga hukum adalah lembaga peradilan, untuk memberikan keadilan.
Lalu, apa jadinya bila hukum dijadikan alat kekuasaan dan alat politik? Alat melanggengkan kekuasaan, untuk menyingkirkan penghalang-penghalang kekuasaan penguasa republik. Alat untuk berpolitik, menyingkirkan lawan-lawan politik untuk mendapatkan kekuasaan.
Bagaimana pula bila penegak hukum berpolitik? Mari kita tancapkan "batu nisan" sebagai tanda bahwa hukum dan keadilan telah dikuburkan, dibunuh oleh orang-orang yang telah diberikan mandat dan kepercayaan oleh rakyat.
Dalam hati saya tertawa, bibir saya hanya tersenyum nyinyir ketika membaca berita tentang penjelasaan tim kuasa hukum Anas Urbaningrum, Firman Wijaya SH yang mengatakan bahwa isi dakwaan terhadap Anas sangat imajinatif.
Dakwaan terhadap Anas Urbaningrum yang setebal 50 halaman itu juga disebut sebuah dakwaan yang bersejarah dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia. Salah satu isi dakwaan tersebut adalah soal ambisi Anas Urbaningrum menjadi calon presiden RI hingga tuduhan menghimpun dana-dananya seperti yang didongengkan oleh terdakwa Wisma Atlet M. Nazaruddin.
Seperti diketahui, tuduhan-tuduhan Nazar terhadap Anas cenderung berubah-ubah. Pertama dikatakan dana pemenangan Anas menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dihimpun dari Proyek Hambalang, hingga membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengobok-ngobok konggres Partai Demokrat, Mei 2010. Meski yang diobok-obok adalah orang-orang yang tidak memiliki kapabilitas dalam kongres yang memenangkan Anas tersebut.
Belakangan, Nazar menuding uang pemenangan berasal dari proyek-proyek universitas. Keterangan-keterangan Nazar dipersidangan pun kerap kali membuat hakim kebingungan dan sempat membuat hakim tertawa pada persidangan, Selasa, 13 Mei 2014, yang menghadirkan Anas Urbaningrum dan Andi Alfian Mallarangeng sebagai saksi persidangan Teuku Bagus Muhammad Noor.
Jaksa menyusun dakwaan Anas dengan bentuk dakwaan kombinasi. Dakwaan tersebut juga termasuk kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang diduga dilakukan Anas. Tapi intinya, isi dakwaan tersebut adalah untuk Anas Urbaningrum menjadi presiden.
Menarik jauh kebelakang, sebelum kongres Partai Demokrat yang memenangkan Anas Urbaningrum berlangsung. Dikatakan bahwa pemilik dan pendiri Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak setuju atas pencalonan Anas sebagai Ketua Umum, peristiwa ini pun disebut-sebut sebagai awal mula dari pertarungan SBY untuk menjatuhkan dan menghancurkan karakter Anas.
Ketika Anas terpilih sebagai Ketua Umum, berbagai kalangan aktivis hingga pengamat politik sudah langsung memprediksi bahwa Anas adalah capres 2014 yang paling potensial menggantikan SBY dan terus mengemuka. Justru kepotensialan Anas itu tidak datang dari para pendukung Anas.
Operasi-operasi pembusukan Anas pun dimulai, baik itu dari kalangan internal partai, maupun dari kalangan-kalangan lain, termasuk partai-partai yang sudah memiliki jagoannya untuk pilpres 2014. Berbagai media dikerahkan, pengamat politik, hingga mengerahkan intelijen dan tangan-tangan penegak hukum.
Kuncinya ada pada Nazar. Nazar yang selama ini seperti terlihat dekat dengan Anas, dijadikan tersangka terlebih dahulu untuk masuk menjerat Anas. Awalnya, Nazar tak menyebut sedikit pun keterlibatan Anas dalam berbagai kasus. Sampailah pada saatnya sejumlah utusan berhasil menemui Nazar di Singapore, lalu Nazar mulai melibatkan Anas. Nazar pun berkirim surat ke SBY untuk tidak melibatkan istri dan keluarganya, termasuk melindungi anaknya. Dan surat itu menjadi surat tercepat yang dibalas oleh presiden RI. Anas pun mulai menjadi bulan-bulanan media dan terus semakin terpojokkan.
Soal rekam jejak kasus Anas Urbaningrum bisa dibaca ditulisan saya "Kasus Anas, Murni Hukum atau Murni Politik".
Sebelas bulan Anas menyandang gelar sebagai tersangka tanpa dilakukan penahanan dan juga tanpa pemeriksaan sebagai tersangka oleh penyidik KPK. Bahkan Ketua KPK Abraham Samad terus mengeluarkan pernyataan-pernyataan berbunyi janji tapi palsu soal akan segera menahan Anas. Pernyataan konyol terakhirnya adalah penjara KPK lagi penuh.
Tanggal 10 Januari 2013, atau 10-01 bila digabungkan menjadi 1001, jadi ingat dongeng 1001 malam. Kini Anas tubuhnya telah terpenjara. Tetap diiringi dengan peristiwa politik.
Kita semua tahu Pemilihan Umum Legislatif 2014 berlangsung tanggal 9 April 2014. Asumsi politiknya kala itu, Anas akan ditahan maksimal selama 120 hari untuk akhirnya disidangkan.
Jika dihitung-hitung, Anas akan disidangkan pasca Pileg 2014. Anas harus dibungkam, tidak boleh bicara agar tidak mengganggu suara Partai Demokrat di Pileg. Bahkan Ruhut Sitompul pun menguatkan asumsi ini, kata Ruhut Anas baru akan disidangkan setelah selesai Pileg.
Disinilah profesionalisme KPK diuji, setidaknya KPK sudah punya waktu 11 bulan untuk mengumpulkan keterangan saksi guna melengkapi berkas. Untuk saksi kasus Anas, kala itu KPK sudah memeriksa saksi setidaknya 120-an orang dan bila ditotal keseluruhan dalam kasus Hambalang jumlah saksinya sudah 240-an orang. Jumlah ini record baru dalam penanganan kasus. Mencoba rekayasakah?
Harusnya sudah tidak terlalu sulit lagi bagi penyidik untuk melengkapi berkas kasus Anas, apalagi Abraham Samad sudah mengeluarkan pernyataan yakin 1000 persen berkas Anas sudah matang.
Untuk menepis bahwa KPK yang diwakili Abraham Samad sebagai ketuanya setali tiga uang dengan penguasa, KPK harus bisa buktikan bahwa pernyataan Ruhut bahwa Anas akan disidangkan pasca Pileg itu salah. Melihat dari waktu yang cukup panjang dengan banyaknya jumlah saksi, setidaknya KPK sudah bisa membawa Anas kepersidangan pada bulan Maret.
Itu juga sekaligus menepis tudingan bahwa kasus hukum Anas dibawa ke ranah politik dan tidak murni kasus hukum. Hanya KPK lah yang dapat meluruskannya.
Ternyata pernyataan Ruhut Sitompul itu sungguh maha dahsyat sangat benar, kalau tidak diundurkan lagi, Anas akan disidangkan pada minggu pertama Juni 2014. Tepat setelah usai Pemilihan Umum Legislatif yang menempatkan Partai Demokrat di posisi 4 dengan perolehan suara 10 koma, bila Anas tidak ditahan, suara perolehan suara partai tersebut diprediksi jauh dibawahnya.
SBY Persiapkan Keluarga Meneruskan Tahta
Ada yang mengatakan bahwa SBY sudah mempersiapkan salah seorang keluarganya untuk menjadi Presiden 2014-2019 untuk menggantikan dirinya pasca lengser, karena itu Anas harus disingkirkan dengan cara apa pun, legal maupun illegal. Menggunakan manuver politik hingga menggunakan tangan hukum.
Pernyataan itu sedikit terpecah dengan kegagalan Partai Demokrat melewati ambang batas parlement treshold, 20% pada pemilihan legislatif yang lalu.
Konvensi Partai Demokrat yang diharapkan dapat mengangkat Partai Demokrat pun telah gagal mendongkrak perolehan suara Partai Demokrat.
Bahkan Pramono Edhie Wibowo yang juga adalah ipar dari SBY, tak mampu unggul dari peserta-peserta konvensi lainnya. Bahkan, tak satu partai pun yang tertarik meminang salah satu dari peserta konvensi meski hanya sekedar jadi wapres.
Tapi SBY belum gagal, SBY memang tak dapat menjual peserta konvensi dan iparnya sendiri, tapi SBY sepertinya berhasil menjodohkan Hatta Radjasa (besannya) kepada Prabowo.
Apakah benar SBY menggunakan tangan hukum yaitu KPK untuk menyingkirkan Anas? Jawabannya bisa iya dan bisa juga tidak. Yang pasti Anas sudah jadi tersangka, meski kini SBY gagal mendudukkan keluarganya sebagai penerus tahta.
Bermanuver politikkah Abraham Samad?
Dari prediksi-prediksi diatas soal Abraham Samad yang tangannya dipinjam untuk kepentingan penguasa, tentu masih sangat jauh dari kata pasti. Namun mungkin saja.
Kita tahu soal kedekatan Abraham Samad dengan partai tertentu, bila mengikuti pemberitaan, pasti paham. Ketika Samad menghadiri ulang tahun sebuah partai dan sempat memposisikan Samad sebagai Calon Wapres dari Capres pilihan partai itu. Dan soal Samad sangat dekat dengan salah seorang Capres. Hakekatnya, penegak hukum anti korupsi tidak boleh dekat dengan subjek hukumnya.
Dan Samad pun sempat mengaminkannya, meski dengan malu-malu sempat berkata tentang kesiapannya menjadi Cawapres.
Niat Samad itu sempat memancing dewan etik KPK untuk menggelar sidang etik kedua setelah sebelumnya Samad pernah dinyatakan bersalah telah membocorkan sprindik Anas meski tanpa sanksi yang tegas. Kini sidang etik kedua itu gagal terselenggarakan, ntah apa penyebabnya.
Sikap Samad yang seperti itu jelas dikatakan sedang bermanuver politik, sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang penegak hukum. Terutama penegak hukum yang masih dipercaya oleh rakyat, soal keindependenannya, meski KPK sendiri adalah produk politik.
Bila orang-orang seperti Abraham Samad dibiarkan bermanuver politik, kita tidak tahu apa jadinya lembaga KPK 10 - 30 tahun kedepan. Salam***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI