Mohon tunggu...
Muhammad Bobby Syahrani
Muhammad Bobby Syahrani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UNS

Pribadi yang ingin bahagia dan lebih baik kedepannya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membangun Harmoni dalam Keluarga Melalui Peran Konselor

16 Desember 2024   22:40 Diperbarui: 16 Desember 2024   22:40 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Alisa Dyson (Pixabay)

Konseling keluarga adalah suatu proses yang bertujuan untuk membantu anggota keluarga dalam mengatasi masalah, meningkatkan komunikasi, dan memperbaiki hubungan anggota keluarga. Di Indonesia, konseling keluarga bisa dijadikan pandangan sebagai salah satu pendekatan yang penting untuk mendukung kesehatan mental dan emosional keluarga.

Menurut ahli psikologi di Indonesia, seperti Prof. Dr. H. M. Nasution, konseling keluarga merupakan suatu bentuk intervensi yang melibatkan seluruh anggota keluarga untuk memahami dinamika hubungan mereka dan mencari solusi atas masalah yang dihadapi. Dalam pandangannya, konseling keluarga tidak hanya berfokus pada individu, tetapi juga pada interaksi dan pola komunikasi yang ada dalam keluarga (Nasution, 2005).

Konseling keluarga memainkan peran penting dalam hal membangun keharmonisan di dalam keluarga, terutama dalam konteks dinamika yang kompleks dan beragam. Menurut teori sistem keluarga, setiap anggota keluarga saling mempengaruhi dan berkontribusi pada kesejahteraan keseluruhan (Bowen, 1978). Dalam praktiknya, konselor membantu keluarga mengidentifikasi pola komunikasi yang tidak sehat dan konflik yang berulang, serta memberikan alat untuk memperbaiki interaksi tersebut. Pendekatan terbaru dalam konseling keluarga, seperti Terapi Berbasis Bukti (Evidence-Based Therapy), menekankan pentingnya intervensi yang didukung oleh penelitian untuk meningkatkan efektivitas konseling (Sexton & Whiston, 2014). Dengan memanfaatkan teknik-teknik seperti komunikasi terbuka dan penyelesaian masalah kolaboratif, konselor dapat membantu keluarga menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan harmonis. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa kesehatan mental individu sangat dipengaruhi oleh hubungan interpersonal dalam keluarga (Walsh, 2016).

Konselor menggunakan teknik-teknik seperti komunikasi terbuka, penyelesaian masalah kolaboratif, dan pengembangan keterampilan interpersonal (hubungan antar individu) untuk membantu keluarga menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan harmonis. Misalnya, dalam sesi konseling, anggota keluarga diajarkan untuk mendengarkan satu sama lain dengan empati dan mengungkapkan perasaan mereka tanpa menyalahkan, yang dapat mengurangi ketegangan dan meningkatkan pemahaman. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa kesehatan mental individu sangat dipengaruhi oleh hubungan interpersonal dalam keluarga (Walsh, 2016). Dengan demikian, konseling keluarga tidak hanya berfokus pada penyelesaian masalah yang ada, tetapi juga pada penguatan ikatan anggota keluarga, yang pada dasarnya dapat meningkatkan kesehatan emosional dan mental mereka secara keseluruhan.

Konseling keluarga juga dapat beradaptasi dengan kebutuhan spesifik setiap keluarga, termasuk tantangan yang dihadapi oleh keluarga multikultural atau keluarga dengan anggota yang memiliki kebutuhan khusus. Pendekatan yang sensitif terhadap konteks budaya dan nilai-nilai keluarga sangat penting untuk menciptakan intervensi yang efektif. Dengan memanfaatkan berbagai teknik dan pendekatan yang relevan, konselor dapat membantu keluarga mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan di masa depan, sehingga menciptakan fondasi yang kuat untuk hubungan yang sehat dan harmonis.

Dengan  begitu pandangan serta teori di atas dapat diadaptasi dan diimplementasikan kedalam budaya keluarga masing-masing pembaca dengan harapan terbaik untuk anggota keluarganya. Melek terhadap hal-hal tersebut akan menjadikan kita sebagai manusia yang lebih baik lagi dalam membina keluarga dan memperhatikan kesehatan emosional maupun mental. Jadilah pelopor!

Daftar Referensi

Bowen, M. (1978). Family therapy in clinical practice. New York: Jason Aronson.

Nasution, H. M. (2005). Konseling Keluarga: Teori dan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Sexton, T. L., & Whiston, S. C. (2014). The effectiveness of family therapy and systemic interventions for child-focused problems. Journal of Family Therapy, 36(3), 309-328. https://doi.org/10.1111/1467-6427.12038

Walsh, F. (2016). Strengthening family resilience. New York: Guilford Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun