Kecintaan saya pada film, sudah tumbuh sejak kelas 4 SD. Bayangkan, saya pernah mengalami jalan kaki, dan libur jajan 4 hari, demi bisa nonton film layar lebar. Â Mungkin pada masa itu (tahun 1985an) ini adalah tiket termurah di Kota Bogor, namun tetap saja mahal bagi anak kelas 4 SD seperti saya yang uang jajannya cepek sehari.
Saya masih mengingatnya dengan jelas. Nama bioskop tersebut adalah Wijaya Teater. Bukan favorit juga sebetulnya, lebih tepatnya karena harga tiketnya murah banget. Cuma  Rp400 untuk satu kali nonton. Â
Setiap dua hari sekali, mobil operasional mereka, kol (datsun) kuning mondar-mandir di depan rumah saya, sambil abangnya berteriak-teriak pakai toa: Â "Bapak ibu, adik-adik, saksikan film Jaka Sembung di Bioskop Wijaya Teater, besok tayang jam 1 siang. Anak-anak dan emak-emak berhamburan keluar, mereka penasaran dan berebut mendapatkan selebaran cover film yang disebarkan ke udara oleh abangnya. Jadi saya tahu jadwal film showing now, dan coming soon di Wijaya Teater. Genre film di Wijaya Teater beragam, mulai film Holywood, India, Indonesia, Mandarin, dan film propaganda jaman Orde Baru.Â
Saya yang kala itu masih SD kelas 4 pun senang kalau dapat selembaran cover film dari crew Wijaya Teater. Â Kalau filmnya menarik, dan bagus. Pasti saya niatkan untuk nonton bareng teman di sana. Minimal saya jalan kaki bertiga bersama teman main yang juga tetangga saya, sambil membawa botol air minum. Film yang ngehit sependek ingatan saya: Arie Hanggara, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, Komando Samber Nyawa, Beranak dalam Kubur (Suzanna), dsb. Pokoknya harsrat nonton film saya tercapai. Â
Perjalanan ke bioskop pada saat itu adalah pertempuran abadi. Kalau jadwal tayang filmnya jam 1 siang, saya mundurkan 1 jam, buat waktu jalan kaki. Biar pegel, betis kenceng, badan bermandi keringat, saya nikmati saja, saya tetap gembira. Buktinya kenangan pahit dan manis nonton film di sana masih melekat sampai hari ini.Â
Ada lagi cerita unik lainnya di bioskop ini, kalau film yang jadwal tayangnya jam 1 siang, namun masih banyak bangku penonton yang kosong, abang operatornya belum mau memutar filmnya. Â Abangnya akan memutar lagu Roberto Delgado- Whiskey and Soda (sountrack Srimulat) sampai penontonnya nyaris penuh, barulah filmnya diputar.
Ruangan bioskop itu luasnya 10 x 10 meter, tanpa pendingin (AC), cuma ada kipas baling-baling besar. Sudah tak diragukan betapa gerahnya di sana. Bangkunya pun terbuat dari kayu yang permukaannya keras. Dan setelah selesai nonton, kadang ada jejak gigitan tumbila di siku saya, itu lho mahluk kecil yang hobinya menghisap darah. Namun saya nggak pernah kapok nonton di tempat kumal ini.
Wijaya Teater riwayatmu kini sudah jadi Gedung DPRD. Senasib dengan Presiden Teater, Ramayana Teater, Bogor Teater, dll. Pengelola Wijaya Teater kalah bersaing dengan bioskop-bioskop jaringan XXI dan Galaksi (sekarang pun sudah gulung layar). Kisah kenanganmu tentang bioskop paling seru apa? Ini kisah masa kecil saya.
#LombaBlogKomik
#MomentNontonPertama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H