Dia anak pecinta buku, ibunya pun berharap dia dapat bersekolah beberapa tahun lebih lama. Sedangkan pekerjaan ibunya hanya mendatangkan upah yang kecil, menyedihkan. Dia tak bisa menyalahkan ibunya. Alangkah baiknya seandainya ayahnya masih ada. Sayang sekali ayahnya telah tiada, telah berpulang seperti neneknya.
"Sudah sampai Dik." Dia kaget dan menengadah, baru diketahuinya dia telah berdiri di pintu gerbang sekolah. Gadis kecil itu mengambil alih payung, menyaksikan dengan iri gadis itu berjalan masuk ke ruang sekolah dengan riang.
"Oh hujan, turunlah biar lebih banyak uang yang aku peroleh, membantu ibu mengumpulkan uang sekolah." Gadis kecil itu berjalan di tengah hujan yang turun makin deras. Dia mulai merasa lapar, udara dingin sekali. Dia teringat kata-kata nenek berambut putih, "Kalau kamu kena hujan bisa sakit dan masuk angin, rasa takut melintas dalam hatinya yang kecil. Namun dia mengingatkan diri, dia tak boleh sakit, sesuatu yang akan sangat menyusahkan dia. Tangannya yang kecil menyeka rambutnya yang basah kuyup berulang-ulang, lalu mengenggam rok bawahnya kuat-kuat, berusaha memilin, mengeringkan roknya.
"Dik, mari antarkan saya," kata seorang ibu muda yang memeluk bayi mungil yang sedang tidur nyenyak, berjalan menghampirinya. Matanya berbinar sesaat, lupa lapar, lupa dingin, dengan gembira gadis kecil itu mengasongkan payungnya. Hujan deras menyiraminya, wajahnya yang mungil dan kurus itu tampak begitu lelah dan pucat. Ketika dia mengulurkan tangan kecil yang gemetar mengambil imbalan setelah tersiram air hujan. Dia mengigil, terasa berada di tengah-tengah tanah bersalju. Dengan susah payah gadis kecil itu berusaha mengengam payung kuat-kuat, seolah-olah payung itu menarik-narik  tangannya  yang kecil tak berdaya.
Sepertinya dia melihat payung merah itu menjadi kereta angin, mulai berputar-putar, dan terus berputar. Angin dingin yang tak henti-hentinya menerpa wajahnya membuat langkahnya terhuyun-huyun! Payung merah itu akhirnya terlepas dari tangan kecilnya, terbang tertiup angin, terjatuh di keremangan, bagai kabut...
Ciawi, 14 Februari 2009 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H