Warga setempat tahu cara hidup dalam harmoni dengan kawanan gajah kerdil Kalimantan. Caranya adalah dengan menetapkan sejumlah pantangan adat.
Pertama, pantang melanjutkan perjalanan di sungai jika bertemu kawanan gajah yang sedang melintas. Harus segera pulang ke kampung tanpa mengusik mereka.
Kedua, pantang melindas kotoran gajah. Pantangan ini terus terang agak sulit dijalankan oleh para pendatang atau para pemotor yang harus menghindar agar tak melindas "emas" di jalanan. Mungkin yang dimaksud dengan pantangan ini adalah agar kita sungguh menghormati gajah. Sampai-sampai kotorannya pun dilarang untuk dilindas.
Selain pantangan, masyarakat adat Dayak secara umum mempraktikkan perladangan lestari. Benar bahwa suku Dayak menerapkan perladangan berpindah. Akan tetapi, tidak seperti tuduhan bahwa masyarakat Dayak merusak hutan dengan membakar guna membuka lahan baru.
Masyarakat Dayak menerapkan ladang berpindah dengan membuka ladang di kawasan yang secara turun-temurun memang sudah digunakan untuk berladang oleh nenek-moyang. Umpama, tahun ini membuka ladang di "hutan" yang tiga tahun lalu sudah pernah dipakai.
Konservasi keanekaragaman hayati perlu melibatkan masyarakat adat setempat. Hal ini ditegaskan Deputi III Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN) Urusan Ekonomi, Annas Radin Syarif dalam gelaran Forum Bumi. Penerapan Area Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) menjadi solusi pelibatan masyarakat adat dalam pelestarian alam sekaligus pemberdayaan ekonomi.
Sejatinya, pelestarian gajah Kalimantan dengan melibatkan masyarakat adat Agabak dan Tenggalan di Nunukan, Kalimantan Utara akan sangat berdampak positif bagi alam dan manusia.Â
Keunikan gajah kerdil Kalimantan akan menjadi daya tarik istimewa bagi wisatawan maupun pemerhati lingkungan. Jika komodo bisa menjadi daya tarik khas Nusa Tenggara Timur, gajah Kalimantan pun bisa jika kita kelola dengan baik. Semoga!
Bobby Steven
Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta