Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Membahas Viral "Ndasmu Etik" dari Sisi Kebahasaan

16 Desember 2023   17:47 Diperbarui: 16 Desember 2023   18:00 1764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membahas viral "Ndasmu Etik" dari sisi kebahasaan - Nik/Unsplash

Baru-baru ini viral video seorang calon presiden yang mengatakan "Ndasmu Etik" dalam forum internal partai yang mengusungnya menjadi calon presiden.

Warganet (netizen) ramai menanggapi ungkapan "Ndasmu Etik" tersebut. Sebagian warganet menilai, ungkapan itu tidak sopan diucapkan seorang calon presiden. Sebagian warganet lain mengatakan, ungkapan itu hanya candaan yang tidak perlu dipermasalahkan. Lantas, bagaimana kita menilai "Ndasmu Etik" dari sisi kebahasaan?

Asal kata "ndasmu"

Calon presiden yang sedang kita bahas dalam tulisan ini memiliki pengetahuan mengenai bahasa Jawa. Dari bahasa Jawa inilah ia mengambil kosakata "ndasmu" yang berarti "kepalamu". 

Dalam bahasa Jawa, ada beberapa tingkatan kehalusan bahasa. Kata "ndasmu" termasuk ragam tutur ngoko atau tingkatan paling rendah dalam tingkatan kehalusan bahasa Jawa. 

Pada masa lalu, dalam bahasa Jawa ada aneka tingkatan kehalusan bahasa, misalnya: kromo, kromo madya, kromo inggil, dsb. Saat ini umumnya yang dikenal masyarakat adalah ngoko (bahasa "kasar" atau pasaran) dan kromo inggil (halus; digunakan untuk menghormati lawan bicara).

Kata kromo inggil untuk kata kepala adalah mustaka. Si calon presiden memilih menggunakan kata "ndas" yang berasal dari tingkatan bahasa ngoko (kasar/pasaran). 

Lazimnya, ungkapan "ndasmu" digunakan penutur bahasa Jawa untuk mengungkapkan kekecewaan, ketidaksetujuan, atau candaan. Misalnya dalam percakapan berikut:

Abdul: "Bondi, nyilih dhuwit satus ewu sik. Sesuk tak balekke." ("Bondi, pinjam uang seratus ribu dulu. Besok saya kembalikan.")

Bondi: "Ndasmu peang. Wingi utangmu wae durung mbok lunasi! ("Kepalamu peang. Kemarin hutangmu saja belum kamu lunasi")

Ungkapan "Ndasmu etik" bermakna luas, antara lain bahwa si pembicara tidak setuju, kecewa, atau bercanda mengenai etik(a) yang dibahas lawan bicaranya. Atau lebih tepatnya, lawan debatnya pada acara debat yang lalu. 

Tidak sopan atau hanya candaan?

Sebuah ungkapan harus dipahami secara utuh dari konteks pembicaraannya. Konteks pembicaraan terkait ragam acara yang menjadi konteks ungkapan tersebut (resmi atau santai), status pembicara dan lawan bicara (apakah setara atau tidak), dan audiens yang mendengar atau menonton pembicaraan terkait. 

Ditilik dari tanggapan audiens di lokasi acara, audiens menanggapi dengan tertawa. Artinya rata-rata audiens di tempat rapat tersebut menangkap ungkapan si calon presiden sebagai candaan. 

Masalahnya, rapat tersebut konon adalah Rakornas Tertutup sebuah partai. Artinya, meskipun konon disebut tertutup, ini adalah rapat resmi. Rapat resmi mengandaikan pilihan diksi yang sopan. 

Masalah lain, meski disebut rapat tertutup, toh ada yang merekam sehingga potongan video "Ndasmu etik" menjadi viral. Artinya pembicaraan si calon presiden akhirnya menjadi konsumsi publik. 

Di sinilah muncul masalah lain. Etiskah seorang calon presiden mengatakan ungkapan candaan "Ndasmu etik" yang menjurus kasar tersebut di forum partai? 

Bercanda boleh, tetapi kiranya perlu memerhatikan etika dan estetika bahasa. Hal ini berlaku bagi kita semua, bukan saja bagi para politisi dan calon pemimpin negara. 

Akhirulkalam, kita adalah apa yang kita katakan. Perhatikan kata-kata kita karena diri kita tecermin dari kata-kata yang kita katakan. Jadi, alih-alih mengatakan "Ndasmu etik", sejatinya kita perlu belajar tentang etika berbahasa. Apalagi sebagai tokoh publik. 

Salciba: salam cinta bahasa! 

(Penulis adalah kolumnis rubrik bahasa di Kompas. Tulisan ini murni tinjauan kebahasaan tanpa bermaksud membahas afiliasi politik tertentu).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun