Ungkapan "Ndasmu etik" bermakna luas, antara lain bahwa si pembicara tidak setuju, kecewa, atau bercanda mengenai etik(a) yang dibahas lawan bicaranya. Atau lebih tepatnya, lawan debatnya pada acara debat yang lalu.Â
Tidak sopan atau hanya candaan?
Sebuah ungkapan harus dipahami secara utuh dari konteks pembicaraannya. Konteks pembicaraan terkait ragam acara yang menjadi konteks ungkapan tersebut (resmi atau santai), status pembicara dan lawan bicara (apakah setara atau tidak), dan audiens yang mendengar atau menonton pembicaraan terkait.Â
Ditilik dari tanggapan audiens di lokasi acara, audiens menanggapi dengan tertawa. Artinya rata-rata audiens di tempat rapat tersebut menangkap ungkapan si calon presiden sebagai candaan.Â
Masalahnya, rapat tersebut konon adalah Rakornas Tertutup sebuah partai. Artinya, meskipun konon disebut tertutup, ini adalah rapat resmi. Rapat resmi mengandaikan pilihan diksi yang sopan.Â
Masalah lain, meski disebut rapat tertutup, toh ada yang merekam sehingga potongan video "Ndasmu etik" menjadi viral. Artinya pembicaraan si calon presiden akhirnya menjadi konsumsi publik.Â
Di sinilah muncul masalah lain. Etiskah seorang calon presiden mengatakan ungkapan candaan "Ndasmu etik" yang menjurus kasar tersebut di forum partai?Â
Bercanda boleh, tetapi kiranya perlu memerhatikan etika dan estetika bahasa. Hal ini berlaku bagi kita semua, bukan saja bagi para politisi dan calon pemimpin negara.Â
Akhirulkalam, kita adalah apa yang kita katakan. Perhatikan kata-kata kita karena diri kita tecermin dari kata-kata yang kita katakan. Jadi, alih-alih mengatakan "Ndasmu etik", sejatinya kita perlu belajar tentang etika berbahasa. Apalagi sebagai tokoh publik.Â
Salciba: salam cinta bahasa!Â
(Penulis adalah kolumnis rubrik bahasa di Kompas. Tulisan ini murni tinjauan kebahasaan tanpa bermaksud membahas afiliasi politik tertentu).