Â
Musik keroncong berawal dari kebiasaan waktu senggang para Mardijkers, yakni para budak dan tawanan VOC yang telah dibebaskan bersyarat.
Mardijker merujuk pada status sosial tertentu alih-alih status etnis. Mardijkers adalah orang-orang yang pernah mengalami sendiri atau yang nenek moyangnya pernah hidup dalam perbudakan, kemudian telah dibebaskan. Jumlah Mardijkers di Batavia terus bertambah, karena lebih banyak budak yang dibebaskan pada abad ke-17 selama perang penaklukan di Asia Tenggara.
Siapa kaum Mardijkers?
Asal-usul kaum Mardijkers ada dua. Paling banyak berasal dari Bengal, Malabar, Coromandel dan daerah lain di India. Selain itu, ada Mardijkers dari Nusantara bagian timur (Makassar, Banda, Bali) dan yang dibawa dari Maluku ke Batavia. Mardijkers atau zwarte Portugezen (Portugis hitam) awalnya berada di bawah kekuasaan Portugis. Juga pakaian mereka bergaya potongan Portugis (Jan-Karel Kwisthout  2018).
Musik keroncong diambil dari bunyi "Krong-krong" dan "Crong-crong" dari alat musik para Mardijkers. Para Mardijkers adalah orang-orang keturunan Portugis yang memainkan antara lain macina dan jitera.
Macina adalah sejenis alat musik dari pohon bulat menyerupai ukulele. Macina adalah gitar kecil, sementara jitera adalah gitar besar. Gitar sedang dinamai prunga. Harmoni tiga alat musik ini memunculkan pertunjukan ansambel yang menjadi cikal bakal lahirnya musik keroncong khas kawasan Kampung Tugu.
Di Batavia, kaum Mardijkers tinggal di dekat Cilincing, yang kini dikenal sebagai kawasan Semper dan Tugu Koja, yang disebut Kampung Tugu.
Â
Â
Warga Portugis yang dibuang ke Kampung Tugu bukanlah orang Portugis asli. Sebagian besar adalah campuran hasil perkawinan orang Portugis dengan wanita lokal dari bekas koloni Portugis di India, Sri Lanka dan Malaka.
VOC membebaskan kaum Mardijkers dengan syarat bahwa mereka yang semula beragama Katolik mau menjadi Protestan. Tawaran tersebut akhirnya diterima oleh masyarakat Portugis di Tugu. Selanjutnya mereka disebut Mardijkers atau orang-orang yang merdeka (Deny Oey 2018).
Para Mardijkers yang datang ke Batavia umumnya berasal dari Bengal dan Malabar. Mereka dipekerjakan sebagai budak VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) pada masa awal pembangunan Batavia. Batavia disematkan sebagai nama baru Jayakarta setelah kota itu direbut VOC pada 1619.
 Sebutan Mardijkers berasal dari kata merdeka dalam bahasa Melayu. Merdeka adalah slogan politis penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kata merdeka berasal dari kata bahasa Sanskerta maharddika yang berarti seseorang yang memiliki kuasa ilahi atau kesejahteraaan. Kata ini telah digunakan sejak abad ketujuh di Kerajaan Sri Vijaya (Sriwijaya) untuk menyebut pemimpin kelompok budak (Manilata Choudhury 2014:901).
Kaum Mardijkers terpengaruh oleh aneka budaya yang dibawa para pendatang ke Batavia. Pada tahun 1700-an, kaum Mardijkers jelata mulai meninggalkan bahasa Portugis dan beralih ke bahasa Melayu sebagai bahasa utama. Sementara itu, lapisan atas Mardijkers umumnya menggunakan pula bahasa Belanda (Remco Raben 2020:187).
Sejarah Asal-Usul Keroncong Tugu
Kaum campuran Portugis (Mestizo) di Kampung Tugu melestarikan Krontjong Toegoe yang meskipun syairnya berbahasa Portugis, pengucapannya sudah terpengaruh dialek Betawi Kampung Tugu. Alat musik Keroncong Tugu mencakup pula suling, biola, rebana, mandolin, cello, kempul, dan triangle (besi segitiga). Sebagian besar irama lagu Keroncong Tugu memakai ketukan 4/4 dan bernada mayor, yang sesuai untuk iringan dansa.
Musik keroncong diyakini telah dilahirkan di Kampung Tugu sejak sekitar tahun 1661. Akan tetapi, Keroncong Tugu baru secara resmi tercatat untuk pertama kali ketika pada 1925, Joseph Quiko mengumpulkan para pemuda Tugu dalam Orkes Poesaka Kerontjong Moresco Toegoe-Anno 1661.
Para keturunan orang Portugis di Kampung Tugu meyakini bahwa dengan melestarikan musik keroncong yang diwariskan kepada mereka, mereka menghormati para leluhur. UNESCO pada tahun 1971 memproduksi piringan hitam permainan Orkes Poesaka Kerontjong Moresco Toegoe yang dipenggawai J. Quiko dengan repertoar lagu-lagu dari masa Hindia Belanda, seperti Oud Batavia dan Schoon ver van jou.
Krontjong Toegoe sejak tahun 1989 telah sering tampil di Pasar Malam Tong Tong di Den Haag, Belanda. Meski musik Krontjong Toegoe diyakini berasal dari Portugal, Krontjong Toegoe kiranya adalah sebuah musik hibrida, yakni sintesis musikal dari budaya Barat dan non-Barat (Victorius Ganap 2006).
Â
 RB, 4 April 2023. Naskah ini pernah disertakan dalam lomba naskah Ensiklopedi Keroncong Indonesia.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H