"Kok Bapak bisa tahu?" selidik saya. "Ya karena saya sering bergaul dengan mereka dan lingkaran dalam mereka juga. Saya sudah ke seluruh Indonesia terkait urusan pekerjaan saya. Klub-klub daerah saya juga sambangi," jawabnya.Â
Pemain titipan
"Bukan cuma itu, di timnas dulu juga ada pemain titipan. Main gak bener tapi dipanggil timnas," ujarnya lagi. Saya bertanya, bagaimana ciri-ciri pemain titipan itu.
"Mudah kok dilihat. Di posisi dia ada pemain lain yang lebih baik, tapi malah dia yang dipanggil timnas. Biasanya kalau pelatih timnasnya masih baik, pelatih jarang juga pasang pemain titipan di tim utama," paparnya.
"Oh, jadi cuma isi bangku cadangan saja, ya. Pak?" tanya saya. Pak Narsum mengangguk. Dia lantas sedikit berbisik, Â "Bukan cuma dulu, sekarang juga masih ada pemain yang mau dititipin ke timnas."Â
Kali ini saya yang menghela nafas panjang. Saya hanya bisa membayangkan, betapa beratnya jadi pelatih timnas Indonesia. Bukan soal sulit menghadapi tim negara lain, tetapi justru sulit menghadapi oknum-oknum dari dalam negeri sendiri.
Oknum-oknum yang bisanya teriak-teriak, "Pelatih harus out" walaupun mereka tahu, bukan salah pelatih kalau timnas jeblok selama ini.Â
Lantas, di telinga terngiang kata-kata Soekarno: "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri".
Salam sportif. Salut untuk para pejuang sepak bola nasional yang melawan mafia bola dengan gigih, dan sering harus disingkirkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H