**
Apresiasi puisi Tidak Ada Perempuan yang Kidal
Membaca puisi ini, pembaca diajak memasuki dunia perempuan, terutama di Indonesia. Perempuan kerap dipersalahkan. Bahkan ketika jelas-jelas kesalahan itu ada pada pelaku kekerasan dan pelecehan yang adalah lelaki, perempuanlah yang (harus) salah.
Sejak kecil, perempuan harus bisa menjaga kehormatannya dengan berpakaian sopan. Tentu ini wajar. Menjadi tidak wajar kala perempuan saja yang dituntut untuk bisa berpakaian sedemikian sehingga tidak menarik perhatian lawan jenis.Â
Edukasi seksual pada kaum perempuan kerap kali menempatkan diri puan sebagai "sumber godaan" bagi kaum adam. Sejatinya, kaum adam juga yang harus bertanggung jawab dengan menjaga pandangan dan juga menjaga perempuan dari "cat calling" dan aneka pelecehan lainnya.
Karena itu, sungguh repotlah menjadi perempuan. Rok harus ia pastikan hingga lutut. Pakaian harus ia pastikan longgar. Tujuannya agar dirinya tidak menjadi "sumber godaan" bagi (mata) laki-laki.
Cukup sering, korban pelecehan dan perkosaan justru dipersalahkan sebagai "genit" dan "penggoda". Padahal, mereka sudah berpakaian sopan dan tertutup. Tidak heran, sebagian korban ingin bunuh diri dengan menyayat lengan mereka.Â
Dalam hidup perkawinan, perempuan kerap kali menjadi korban kala terjadi konflik relasi suami-istri. Perceraian kerap kali dipicu oleh kekerasan dalam rumah tangga yang dipicu bukan oleh kesalahan pihak istri.Â
Istri sudah repot mengurus anak-anak dan rumah tangga, namun harus pula menanggung derita kala diceraikan suami yang kadang atau sering tidak setia.Â
Karena itu, mungkin lebih baik perempuan terlahir tanpa tangan kirinya yang seumur hidup selalu menanggung derita akibat dipersalahkan terus-menerus dalam dunia patriarki.
Puisi Tidak Ada Perempuan yang Kidal ini adalah kritik apik terhadap dominasi laki-laki dalam budaya patriarki. Sudah saatnya berhenti menyalahkan perempuan semata kala terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan.