Siapa yang tidak bangga bisa menjadi bagian dari sejarah Kompasiana, blog warga terbesar di Asia Tenggara? Dalam perjalanan 14 tahun usia, Kompasiana telah menjadi sumber kebahagiaan bagi banyak orang dari penjuru Nusantara dan dunia.Â
Aku pun bahagia karena berkat kegiatan menulis di Kompasiana, aku dan kawan-kawan bisa membantu anak difabel dan anak kolong tol. Slogan "berbagi kebaikan melalui tulisan" sungguh sebuah kenyataan.
Bagaimana kisahnya? Mari kita simak sembari mensyukuri kebersamaan kita dalam rumah literasi yang bernaung di bawah keluarga besar Kompas Gramedia ini.Â
Kompasiana aku kenal dari kolom mini yang muncul di laman Kompas.com. Di situlah tersua artikel-artikel unggulan Kompasiana, yang dipublikasikan di halaman versi daring surat kabar ternama Indonesia.Â
Ternyata Kompasiana adalah rumah bagi warga biasa sepertiku untuk berbagi kisah, tulisan, dan opini tentang aneka hal. Semula Kompasiana memang adalah wahana bagi jurnalis Kompas. Akan tetapi, kini ia telah menjelma menjadi istana literasi bagi segala lapisan masyarakat, baik Indonesia maupun dunia.
Simak: Reportase Kompasianer Dobrak Jakartasentrisme Media
Aku masih ingat, beberapa tahun lalu ada juga warga asing yang menulis di Kompasiana. Ini adalah bukti bahwa Kompasiana menjadi wahana nyaman bagi siapa saja.
Membantu anak difabel
Peristiwa berkesan pertama terkait Kompasiana adalah kala aku dan kawan-kawan literasi dapat membantu seorang anak difabel. Anak itu berasal dari Borneo.Â
Ia tersiram air panas kala masih bayi sehingga jemari kakinya tidak normal lagi. Ia pernah dioperasi di Surabaya, namun gagal.Â
Suatu ketika, aku mendengar bahwa ada klinik di Pematang Siantar, Sumatera Utara yang bisa menangani difabilitas semacam itu. Aku bertanya, dari mana aku bisa mendapatkan uang transportasi untuk membawa anak ini dan ibunya ke Sumut.
Aku coba hubungi beberapa rekan literasi di Kompasiana. Pertama-tama, untuk mencari kapal laut TNI AL. Sayang, menurut seorang rekan kompasianer yang adalah dokter TNI AL, tiada kapal dari Kalimantan ke Sumut.Â
Aku juga sempat menghubungi sebuah maskapai penerbangan swasta, namun surelku tak berbalas. Aku tak putus asa. Aku hubungi sejumlah rekan di Kompasiana untuk menggalang dana.Â
Syukur kepada Tuhan YME, beberapa sahabat literasi di Kompasiana mengulurkan tangan dari kemurahan hati mereka. Kini anak itu sudah bisa berjalan lagi seperti biasa.
"Mukjizat" ini terjadi berkat insan-insan budiman, termasuk para penulis di Kompasiana.
Membantu anak kolong
Pengalaman kedua yang membahagiakanku ialah ketika aku berhasil mendapatkan juara kedua dalam sebuah lomba blog di Kompasiana.Â
Sebagian hadiahnya aku gunakan untuk membantu para siswa-siswi mungil Sekolah Anak Kolong Penjaringan, Jakarta Utara. Mereka dibina oleh Ibu Hermina, seorang guru relawati yang sepenuh hati mengabdi tanpa gaji selama puluhan tahun.
Beberapa waktu lalu, aku pun sempat mengunjungi langsung sekolah yang menampung anak-anak buruh cuci, pemulung, dan kaum marjinal itu.Â
Kebahagiaan Unik Anak-Anak Kolong Tol Penjaringan
Beberapa sahabat penulis di Kompasiana turut peduli dengan menyumbangkan dana bantuan yang aku salurkan langsung ke Sekolah AnKol Penjaringan. Beberapa sahabat penulis Kompasiana juga telah datang mengunjungi Ibu Hermina dan anak-anak kaum papa di situ.Â
Di tengah pandemi dan ancaman resesi ekonomi, sekolah AnKol bertahan dengan hanya mengandalkan kemurahan hati donatur. Sungguh, hanya cinta kasih semata yang membuat sekolah kaum terpinggirkan itu masih bertahan hingga kini.Â
Aneka kebahagiaan lain
Ada banyak kebahagiaan lain yang aku rasakan selama aku menjadi warga Kompasiana ini. Persaudaraan literasi di Kompasiana terasa akrab, meski sebagian besar dari kami belum pernah berjumpa langsung.Â
Bersama sejumlah rekan, aku berkolaborasi perhatian pada taman-taman baca di pelosok Nusantara melalui komunitas Inspirasiana.Â
Di luar itu, aku juga sempat berkolaborasi dengan sejumlah rekan dalam menulis karya bersama dan mengikuti perlombaan di dalam dan di luar Kompasiana.Â
Dari pena turun ke hati
Aku sampai membuat kesimpulan bahwa penulis itu adalah insan-insan budiman. Menulis memang mengasah kepekaan hati nurani. Bagi yang masih jomlo dan mencari belahan hati, aku pikir Kompasiana juga menjadi wahana yang nyaman.
Seingatku, ada beberapa penulis Kompasiana yang menemukan pasangan hidupnya berkat menulis di Kompasiana. Dari pena turun ke hati. Aih, Kompasiana memang penuh romansa memesona.Â
Ruang Berbagi. Tahniah, Kompasiana dan kompasianer.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H