"Wah, jadi Mbak Nur datang jauh-jauh dari Riau ke Jogja untuk mencari jejak kakek saya?"
"Saya sempatkan cari informasi untuk melaksanakan amanah dari mendiang kakek saya. Saya dapat informasi dari seorang pensiunan tentara bahwa Kapten Yosef dimakamkan di sini. Siapa tahu jelang 17 Agustus, ada keluarga Kapten Yosef yang ziarah makam. Ternyata kita jumpa di sini," urai si gadis bersuara lembut itu.
Belum sempat aku menanggapi, Mbak Nur kembali berujar, "Ada foto lama di amplop ini."
Kubuka amplop cokelat lusuh yang disodorkan Mbak Nur. Sebuah foto bertitimangsa Agustus 1961. Kakekku sedang membesuk seorang wanita di rumah sakit. Di samping puan itu, seorang pria yang tak kalah gagah dengan kakekku.Â
Meskipun tampak lelah, puan dan pria yang adalah suaminya itu tampak semringah. Semuanya berkat kunjungan kakekku. Ah, indahnya hidup kakekku waktu itu.
"Satu hal yang hendak saya sampaikan pada Mas Yohan. Mohon doanya karena bulan depan saya akan masuk Pusdik Kowad di Lembang," pinta Mbak Nur membuyarkan lamunanku.Â
"Oh, selamat. Saya pun sebenarnya ingin jadi tentara seperti kakek, tapi panggilan hidup saya rupanya berbeda," jawabku.Â
"Baiklah, Mas Yohan. Ini nomor telepon saya. Mungkin sebulan lagi akan sulit dihubungi. Tapi semoga silaturahmi keluarga kita tetap terjalin."
Gadis berbalut kerudung lazuardi itu pun pergi setelah sejenak ikut menabur bunga ke pusara kakekku.Â
Aku lupa mengatakan satu hal padanya. Bahwa kakekku sebenarnya berharap di antara cucu-cucunya ada yang jadi tentara. Sayang sekali, harapan itu tak terjadi di keluarga kami. Aku, satu-satunya cucu laki-laki, memilih jadi padri.
Senja ini aku baru menyadari, doa kakekku dikabulkan Tuhan melalui cara yang berbeda. Cucu anak buah kesayangannya menjadi penerus harapan dan doanya.Â