Saya beruntung dibesarkan orang tua yang mewariskan semangat kerja keras dan kerja cerdas. Kedua orang tua saya telah menjajal aneka usaha demi menjamin masa depan saya dan adik-adik saya. Mulai dari jual tanaman hias sampai ternak lele dumbo (Clarias gariepinus).
Ayah saya memang hobi "ternak teri" alias nganterin anak dan istri sambil beternak lele pada era 1990-an.Â
Saya ingat betapa asyiknya memberi makan lele dengan bekatul, pelet, dan sesekali daun pepaya. Ayah saya membeli bibit lele, lantas membesarkan di kolam-kolam sampai ukuran lele layak jual.
Ayah saya berkisah, kala itu dia menjadi mentor bagi warga 16 kecamatan di Gunung Kidul yang ingin beternak lele dalam kondisi sulit air. Justru tanah lempung yang menjadi ciri khas daerah kami mendukung kolam lele alami karena lempung tidak menyerap air.Â
Kolam lele bisa pula memanfaatkan buangan limbah rumah tangga yang disaring dengan ijuk, batu, dan pasir. Adanya air genangan akibat tanah lempung memang berpotensi menghadirkan jentik nyamuk. Akan tetapi, jentik nyamuk ini justru menjadi makanan tambahan bagi lele.Â
Sejuta cinta jumbo dalam kolam lele dumbo
Ada sejuta cinta jumbo dalam kolam lele dumbo yang menemani masa kecil saya di sebuah kota kecil di Yogyakarta. Cinta dalam kolam lele itu mewujud dalam aneka rupa:
Pertama, pelajaran wirausaha sejak dini
Ayah dan ibu saya wiraswasta sejati. Ternak lele dan aneka usaha lain menjadi wahana pembelajaran kewirausahaan bagi saya dan adik-adik saya.Â
Rezeki harus diupayakan dengan kerja keras. Kolam lele mengajarkan ketekunan melakukan pekerjaan "kotor" yang menghasilkan penghasilan halal.