seorang anak manusia terduduk manis di tepian laut
netra melayang ke angkasa raya nirkabut
singgasana awan gemawan dan paksi yang menjemput
sebuah nafas ia hela hingga hawa menuruni tubir-tubir alveola
kehidupan ternyata termaktub dalam sebuah organ demikian rapuhnya
angkuh dan ambisi tiada habisnya ingin meraja dalam ruang hampa nan fana
si anak manusia mencoba mengeja kata cinta, namun mengapa cinta diri yang menyembur
ia lantas bertanya pada atmanya yang ringkih dan nalarnya nan kabur
sia-siakah berbaring larut dan bangun subuh ketika jago pun masih tertidur?
si anak manusia memandang ke ribuan purnama yang telah berlalu
jutaan kayuhan dayung yang membawa biduknya ke samudera biru
tempat lumba-lumba mengiring pelaut sebatang kara yang tlah kelu
si anak manusia menengadah dengan tangan terentang
mengucap syukur pada Dia yang selalu setia mendengarkan sembahyang
dan mengusap tetes-tetes air mata yang mengalir pada malam-malam panjang
"kita bagai kelana menyusur cakrawala", dendang si anak manusia lirih
telah kenyang ia dengan puja-puji dan luka-luka perih pedih
begitulah kehidupan di dunia ini musti dijalani demi redih suarga putih
dalu syahdu, 17 juni 2022Â -bukan pujangga, hanya anak senja-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H