Yang membuat kami, atau setidaknya saya, warga DIY heran adalah bahwa selama bertahun-tahun, tiada perencanaan tata kelola sampah yang sungguh dijalankan dengan baik.
TPST Piyungan tidak didukung oleh TPST lainnya, meskipun sejatinya Bantul dan Sleman masih memiliki kawasan yang cukup luas. Tetapi akar permasalahannya bukan pada TPST.
Adalah budaya memilah dan mengolah sampah yang belum dimiliki sebagian besar warga DIY. Pemerintah juga tergagap-gagap dalam mengkampanyekan dan memberi fasilitas pemilahan dan pengolahan sampah.
Sejatinya ini masalah umum di banyak sekali kota dan kabupaten di Indonesia. Coba kita jujur, berapa banyak wilayah yang sungguh maju pengelolaan sampahnya di negeri kita? Mungkin di bawah lima wilayah saja!
Yang memprihatinkan adalah fakta bahwa sampah makanan dan sampah organik justru menjadi volume sampah terbesar di banyak wilayah. Padahal, sampah organik ini sangat bisa diolah menjadi kompos dan atau "diselamatkan" menjadi pakan ternak.Â
Upaya Yogya belum optimal
Bukan berarti Yogya yang saya cintai tidak berbuat apa-apa. Saya tahu, ada upaya perbaikan tata kelola sampah. Namun, upaya ini belum optimal.Â
Yang mengherankan lagi adalah, pemerintah setempat selama ini seolah tidak mengakomodasi suara para akademisi lokal yang sudah mewanti-wanti tentang darurat sampah.
Jumlah bank sampah di Yogya dan sekitarnya tidak mampu mengurangi sampah secara signifikan, yang akhirnya dibuang ke TPST Piyungan.Â
Dosen Universitas Ahmad Dahlan, Surahma Asti Mulasari pada 2016 sudah menulis bahwa jika setiap warga kota Yogyakarta menabung sampahnya, Â permasalahan sampah anorganik rumah tangga akan teratasi. Jumlah sampah yang diangkut ke TPST Piyungan akan berkurang sekitar 47%.
Solusi bencana darurat sampah di kota kita