Setiap kabar kenaikan harga BBM dan sembako biasanya menjadi buah bibir di media massa nasional. Warganet juga ramai membincangkan di media sosial.
Sebagian mahasiswa pun berontak dan turun ke jalan untuk mengadakan demonstrasi menentang (rencana) kenaikan harga BBM dan juga sembako. Intinya, masyarakat terkesan riuh mempersoalkan urgensi kenaikan harga bensin dan sembako.
Hanya saja, sering tidak kita sadari bahwa masyarakat pedalaman Indonesia selama ini tidak (mau) protes kala harga bensin dan sembako naik. Cobalah mencari berita "demonstrasi masyarakat pedalaman menentang kenaikan harga sembako". Nihil.
Saya berkesempatan menjalani magang selama satu tahun di pedalaman Kalimantan beberapa tahun silam. Saya sendiri mengamati, tema kenaikan harga BBM dan sembako sangat jarang dibicarakan masyarakat pedalaman.
Bukan karena mereka tidak (mau) protes. Akan tetapi, sejak lama masyarakat pedalaman "dibiasakan" dengan harga BBM dan sembako yang jauh lebih tinggi dari harga di Jawa.
Meskipun pemerintah secara tertulis menetapkan kebijakan BBM satu harga, toh harga BBM di pedalaman umumnya tetap lebih tinggi daripada di Jawa. Hal ini karena mata rantai distribusi dan biaya distribusi yang panjang dan mahal di pedalaman.
Demikian pula dengan harga sembako yang mayoritas diproduksi di pabrik-pabrik di Jawa dan Sumatera. Ketika dijual di warung-warung pedalaman Kalimantan, harganya bisa berlipat-lipat. Tergantung jarak dan panjang mata rantai distribusinya.
Dilansir Tribun Papua, di distrik-distrik pelosok seluruh Tolikara harga BBM bensin dan solar melonjak lebih tinggi kira-kira Rp 100.000 per liter pada 1/4/2022.
Hal ini menandakan, pembangunan masih belum merata di penjuru Indonesia tercinta. Yang patut diapresiasi adalah upaya pemerintah kita dalam membangun infrastruktur transportasi di daerah luar Jawa sehingga setidaknya distribusi lebih lancar.Â
Bukan hanya soal harga, kesegaran produk sembako juga menjadi masalah di pedalaman. Saya mengalami sendiri ketika membeli bahan pangan di kios di pedalaman Kalimantan sekian tahun lampau. Saya harus cermat memilih telur karena telur di kios itu sudah lama berada di jalan ketika didistribusikan.
Masyarakat di pedalaman hanya bisa pasrah saja ketika harga sembako dan BBM naik. Suara mereka nyaris tidak didengar pembuat kebijakan yang mayoritas tinggal di Jawa. Umumnya pejabat daerah pun hanya singgah ketika ada kampanye atau acara seremonial belaka.
Karena itu, sangat perlulah para pejabat tinggi negara dan pejabat teras lokal turun ke bawah untuk memantau suara masyarakat pedalaman Indonesia sebelum membuat keputusan ekonomi yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Selama ini, masyarakat pedalaman bertahan hidup dengan daya upaya mereka sendiri dan menghemat dengan cara ekstrem kala harga BBM dan sembako naik.
Risiko "mode bertahan hidup" ini sangat nyata: keluarga-keluarga pedalaman tetap hidup namun kualitas hidup menurun drastis. Penghasilan yang tidak seberapa akhirnya harus dibelanjakan bahan pangan sehemat mungkin. Seringkali gizi menjadi tidak diperhitungkan lagi.
Itulah mengapa angka stunting atau anak tumbuh kerdil masih tinggi di luar Jawa. Bukan karena masyarakat tidak sadar gizi, tetapi karena terpaksa membeli sembako seadanya asal masih bisa makan.
Selama ini, yang peduli pada masyarakat pedalaman adalah tokoh-tokoh lokal, pemerhati masyarakat adat, dan lembaga-lembaga keagamaan. Syukurlah, sejumlah kementerian negara dan pemerintah daerah mulai bekerja sama dengan para pemerhati ini demi meningkatkan kualitas hidup masyarakat pedalaman.
Seharusnya, semakin banyak dana pembangunan dan subsidi dikucurkan untuk masyarakat pedalaman yang paling terdampak kenaikan harga BBM dan sembako. Dana desa menjadi salah satu sarana yang baik, asalkan diawasi penggunaannya dengan ketat.
Salam satu nusa satu bangsa. Mari membangun Indonesia dari ujung-ujungnya, dari pelosok Nusantara. Secara khusus, amanat untuk memajukan masyarakat pedalaman ada di pundak para pejabat terhormat. Semoga semakin amanah. Kami tunggu semakin banyak sentuhan nyata kebijakan negara untuk masyarakat pedalaman!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H