Klitih umumnya dilakukan bersama dalam kelompok dan pada malam sampai dini hari. Hal ini menandakan dua hal:
1. Pelaku klitih secara individual tidak cukup punya nyali, bahkan pada dasarnya mungkin justru penakut. Kelompoklah yang membuat mereka nekat dan berani.Â
2. Pelaku klitih dalam hidup sehari-hari menyembunyikan sisi gelap mereka untuk kemudian melampiaskan kemarahan secara brutal saat masyarakat "tertidur lelap".Â
Sebagian besar dari para pelaku klitih ini sejatinya sangat mudah ditelusuri jika lembaga pendidikan, aparat kepolisian, dan pemerintah daerah mau secara serius melacak.Â
Semasa saya sekolah dahulu, geng-geng terkait sekolah tertentu sudah dikenal. Sebagian dari pelaku klitih ini berasal dari geng-geng sekolah yang sebenarnya sudah dikenal kiprah dan rekam jejaknya. Kompas 17 Maret 2017 mencatat, ada 81 geng pelajar di Jogja.
Mari kita jujur saja sebagai pejabat dan warga Jogja: sesulit apa sih melakukan profiling (calon) pelaku klitih? Coba tanya saja pada para siswa-siswi, mereka tahu kok siapa teman yang memenuhi profiling sebagai (calon) pelaku klitih dan atau anggota geng sekolah mereka.Â
Apalagi pihak sekolah dan kepolisian sudah punya nama-nama pelaku klitih (kambuhan) yang sempat ditangkap.Â
Sayangnya, sejumlah pihak masih saja menyangkal maraknya klitih di Jogja dengan mengartikan klitih sebagai gejala umum kenakalan remaja. Lebih memprihatinkan lagi, ada yang menyangkal klitih demi menghindari kesan Jogja tidak aman.Â
Menurut hemat saya, kita tidak perlu lagi menyangkal bahwa klitih itu sudah menjadi masalah besar sejak lama di DIY. Bahkan semakin brutal saja.Â
Mencari solusi klitih Jogja
1. Sinergi sekolah, pemerintah, dan kepolisian dalam profiling (calon) pelakuÂ