Bait ketiga ini adalah bait pamungkas yang menjadi akhir puisi. Bu Meti berhasil menyajikan dengan indah.Â
Frasa sepi menggumam adalah majas personifikasi. Pula malam merindu. Penggunaan dua majas personifikasi secara berurutan menambah intensitas personifikasi dalam baris ini.Â
Perhatikan frasa sepercik doa. Doa itu biasanya kata-kata, bukan percikan. Tetapi bagi pemuisi dari Sulawesi Tenggara, doa itu air yang menyejukkan kalbu. Dalam KBBI, percikan bermakna "titik-titik air dan sebagainya yang memercik".
Kebetulan saja, saya sedikit mengenal Bu Meti sehingga saya merasa cukup percaya diri mengaitkan puisi ini dengan kehidupan beliau.Â
Sebagai seorang muslimah, tentu Bu Meti akrab dengan keterkaitan antara air wudu dan ibadah salat lima waktu. Mungkin dari sinilah muncul frasa sepercik doa itu.Â
Dari tradisi keagamaan yang sama, tampaknya bersumber frasa menarik menari seluruh aku, menengadah. Mungkin yang dimaksud dengan menari seluruh aku ini adalah gerakan tubuh saat menjalankan salat. Ya, gerakan tubuh kala sembahyang ibarat sebuah tarian indah, bukan?
Meski puisi ini kiranya berlatar belakang tradisi keagamaan Islam, puisi ini nyatanya adalah bahasa universal nan indah bagi siapa pun pembacanya.Â
Termasuk saya, yang bukan seorang beragama Islam. Ya, puisi adalah bahasa cinta untuk seluruh makhluk Tuhan YME.
Sangat sering, pemuisi dan penyair menulis karya indah mengenai agama lain yang bukan agamanya! Saya yakin, pembaca bisa menyebutkan beberapa contoh.
Juga puisi religi tertentu bisa sangat menyentuh hati pemeluk agama dan kepercayaan lain. Jadi, jangan ragu membagikan puisi bertema atau berlatar belakang religi tertentu kepada pembaca umum.Â
Tentu dengan semangat toleransi dan dikemas dengan apik, seperti karya Bu Meti ini.Â