pucuk-pucuk pinus telah layu dari padang,
dan tak ada lagi burung yang bernyanyi...
Kali ini Bu Meti memperluas tangkapan indera dengan melibatkan aspek auditif, yakni "tak ada lagi burung yang bernyanyi." Ini contoh puisi yang berhasil membawa pembaca untuk merasakan dengan aneka indera, bukan hanya mata saja.
Suasana sunyi sendiri si penyair berpena pelangi dipertegas dengan lukisan auditif ini. Mantap!Â
Bedah bait kedua
Dan aku ditemani sepotong jingga, masih tinggal disini
sendirian dan berkeliaran menunggu goresan penamu
meskipun dedaunan telah luruh dari dahan
dan burung-burung bangau telah menghilang
Bait kedua ini adalah deskripsi situasi "aku". Sedikit koreksi: penulisan disini seharusnya terpisah, meskipun pemuisi punya licentia poetica untuk tidak selalu menaati kaidah berbahasa standar.
Frasa sepotong jingga mengingatkan saya pada karya-karya Seno Gumira, yang antara lain adalah "Sepotong Senja untuk Pacarku". Mungkinkah Bu Meti terpengaruh Seno Gumira secara langsung atau tidak langsung?Â
Frasa dedaunan telah luruh sangat indah. Biasanya dedaunan gugur. Inilah keterampilan puitis Bu Meti. Ia menggunakan lukisan yang tidak jamak.Â
Makna bait kedua ini adalah penantian "aku" yang ternyata juga sendirian, persis seperti si penyair berpena pelangi. Ini bukti lain keterkaitan bait kedua dan pertama. Tidak semua penulis piawai menghubungkan bait dan paragraf. Bu Meti sudah berhasil!
Bedah bait ketiga
Sepi menggumam, malam merindu terpecah
dalam dadaku mengalun syahdu sepercik doa
menarik menari seluruh aku, menengadah
meski pintu telah terbuka, tapi aku enggan pergi