Siang itu Pak Jono membantu kami memperbaiki kursi yang mulai rusak. Pak Jono adalah seorang ayah yang suka menolong siapa saja.Â
Sembari membenahi kaki-kaki kursi di ruang tamu, Pak Jono dan aku ngobrol santai. Dia mengisahkan anaknya, Doni yang "turun pangkat" akibat mengundurkan diri dari pekerjaan terdahulu.
Di tengah pandemi, perusahaan tempatnya bekerja membuat sebuah keputusan yang menurut Doni tidak sesuai hati nuraninya. Akhirnya Doni mengundurkan diri dari pekerjaan yang sebenarnya memberinya penghasilan yang cukup tinggi.Â
Apalagi Doni bekerja tanpa harus berkotor-kotor. Ia biasa berseragam rapi. Tampak gagah dan menawan hati.Â
Sejak beberapa minggu ini, Doni mulai bekerja sebagai petugas kebersihan gedung. Dibanding pekerjaan sebelumnya, jelas gajinya turun. Kini Doni bekerja dengan berpeluh dan berkotor tubuh.Â
Uniknya, Doni tidak mengeluh meski "pangkatnya turun" dari petugas pengawalan nan parlente menjadi tukang bersih-bersih. Makin unik lagi, Pak Jono juga justru bersyukur atas "penurunan pangkat" putranya.Â
"Lebih baik anak saya belajar pekerjaan praktis daripada tugas kantoran. Pekerjaan praktis itu bisa jadi terapi yang baik dan jauh dari stres," pungkas Pak Jono.Â
Pekerjaan tangan adalah sarana lepas stres nan efektif
Aku tercenung mendengar jawaban bijaksana itu. Aku baru sadar, Pak Jono sendiri sudah menerapkan apa yang kini dijalani Doni. Pak Jono adalah seorang mantan pegawai kantor pajak, namun dia pintar memperbaiki banyak piranti.Â
Artinya, Pak Jono sejak muda belajar juga hal-hal praktis seperti memperbaiki motor, kursi, bahkan melukis. Di masa senjanya, Pak Jono tampak segar dan sehat. Jauh dari stres.
Ketika ada persoalan hidup, alih-alih overthinking, Pak Jono sibuk memperbaiki perabot atau barang apa saja di rumahnya. Pekerjaan kasar rupanya jadi sarana melepas stres yang efektif!
Beda sekali dengan anak-anak muda dan generasi sekarang yang lebih akrab dengan ponsel dan komputer. Sering overthinking, stres, depresi. Harus bayar psikolog atau dokter untuk sehat lagi.Â
Pedagogi EKI ala Romo Mangun
Dalam falsafah pendidikan Romo Y.B. Mangunwijaya, rohaniwan cum arsitek cum sastrawan, ada yang dinamakan nilai pedagogi EKI. Pendidikan harus menghasilkan citra insan eksploratif, kreatif, dan integral.Â
Pekerjaan tangan atau opera manualia menjadi sarana untuk menjadi manusia yang eksploratif, kreatif, dan integral.Â
Orang tua dan guru masa kini sebaiknya jangan lupa mengajari dan mendampingi anak-anak untuk mampu melakukan pekerjaan tangan yang "kotor dan kasar", selain menguasai piranti teknologi.Â
Menjadi ganjil ketika anak masa kini sangat pandai beselancar di internet dan merangkai NFT, tapi tidak bisa menulis tangan dengan rapi atau tak bisa memperbaiki hal sederhana.Â
Setahu saya, di Finlandia, anak-anak prasekolah dan SD justru lebih banyak menulis dengan tangan untuk melatih kecerdasan motorik mereka.Â
Di Indonesia, sepertinya orang tua sangat bangga ketika anak-anak pintar menggulir layar ponsel atau komputer. Sah-sah saja. Hanya saja, jangan lupakan melatih kemampuan motorik anak-anak. Alih-alih gawai elektronik, biasakan pula anak menggunakan pensil, pena, sapu, jarum jahit, alat masak, dan piranti praktis lainnya.
Salam edukasi. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H