Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, kasus-kasus yang tercatat itu meliputi kekerasan terhadap istri (KTI), kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) khususnya inses.
Ini adalah fenomena gunung es yang hanya tampak puncaknya saja, sementara kasus sebenarnya jauh lebih besar dari yang dilaporkan.Â
UU Penghapusan KDRT sebagai lilin di tengah kegelapan
Syukurlah, Indonesia telah memiliki UU Penghapusan KDRT Nomor 23 Tahun 2004. UU Penghapusan KDRT ini setidaknya lumayan berhasil melindungi korban KDRT.
Berkat UU Penghapusan KDRT ini, telah dibentuk lembaga penegak hukum atau masyarakat sipil untuk menangani kasus KDRT, seperti UUPA, P2TP2A, dan Women Crisis Center (WCC) atau lembaga Pendampingan Korban yang dikelola oleh masyarakat.
Meskipun demikian, kasus KDRT tidak seluruhnya dapat dihentikan karena korban banyak yang memilih diam. Menurut riset Balbir Gurm dan Jeniffer Marchbank, ada banyak sekali alasan yang membuat korban KDRT enggan melaporkan pelaku:
1. Korban berharap pelecehan itu akan berakhir
2. Korban bergantung pada pasangannya secara ekonomi dan sosial.Â
3. Korban takut pasangannya akan menjadi lebih kejam.
4. Korban takut akan keselamatan anak-anak mereka dan orang-orang terkasih lain.
5.Korban takut tidak ada yang akan percaya bahwa KDRT itu terjadi.
6. Korban justru diasingkan dari keluarga dan teman-teman mereka.