Imlek mungkin selama ini suatu perayaan yang seolah asing dari diri kita. Akan tetapi, sejatinya merayakan Imlek adalah merayakan pengaruh unsur Tionghoa dalam makanan, bahasa, dan bahkan mungkin DNA kita sebagai bangsa Indonesia.Â
Menurut sejarahnya, Imlek adalah perayaan musim semi di China. Para petani menyambut gembira musim semi setelah berakhirnya musim dingin yang beku. Transisi musim ini menandai pergantian tahun baru.Â
Para perantau Tionghoa telah sejak lama tiba di Nusantara. Mereka hidup dalam harmoni dengan suku-suku di Nusantara ini. Kawin-mawin, bekerjasama, dan akhirnya menyatu sebagai bangsa Indonesia.Â
Sejarawan Benny G Setiono menulis, penemuan benda kuno yang memperlihatkan awal masuknya bangsa China antara lain tembikar di Jawa Barat, Lampung, dan Kalimantan Barat; juga kapak batu dari zaman Neolitikum.
Ada pula genderang perunggu di Sumatera Selatan, yang termasuk dalam budaya Dongson pada periode 600 SM hingga abad ke-3 Masehi. Dongson adalah desa di Thanh Hoa, Teluk Tonkin, di sebelah utara Vietnam. Genderang perunggu itu berasal dari masa Dinasti Han.
Di banyak tempat ada pula koloni masyarakat Tionghoa. Umpama di Tuban, Gresik, Jepara, dan Lasem pada pemerintahan Kerajaan Airlangga.
Â
Pengaruh unsur budaya Tionghoa dalam makanan Nusantara
Aji Bromokusumo, pakar kuliner peranakan Tionghoa kepada KompasTravel menjelaskan bahwa umumnya makanan Tionghoa yang lazim ditemui di Indonesia menggunakan dialek Hokkian.
Sebutan makanan dengan dialek Hokkian yang kemudian diadaptasi dalam bahasa Indonesia antara lain: kwetiau, bihun, misoa, bakmi, bakcang, lumpia, dan sampai kecap. Kecap berasal dari kata bahasa Hokkian ‘gui cap’.
Soto konon adalah hasil perpaduan kuliner China dengan kuliner bangsa-bangsa lain dan masyarakat lokal Nusantara. Denys Lombard dalam bukunya Le Carrefour Javanais mengemukakan bahwa asal usul soto adalah sup Cina, caudo (Pinyin: tshau-too; harfiahnya "babat"). Soto populer di Semarang di kalangan imigran Tionghoa pada masa kolonial VOC, sekitar abad ke-17.
Pengaruh unsur bahasa-bahasa Tionghoa dalam bahasa-bahasa Nusantara
Ada beragam dialek Tionghoa yang memengaruhi bahasa Indonesia dan aneka bahasa daerah Nusantara. Panggilan dialektal Betawi gua, misalnya, berasal dari dialek Hokkien 'goa' (aku).Â
Gincu, guci, kepang, kongkalikong, kongsi, kuaci, kuah, lihai, lonceng, sampan, sate, sumpit, teh, tukang, toko, tongkang adalah sejumlah kata yang diserap dari beragam dialek Tionghoa.Â
Mungkin kita ber-DNA Tionghoa
Selama ini kita dikotak-kotakkan dengan label pribumi dan non-pribumi. Padahal secara genetik, tidak ada orang pribumi yang sungguh asli Indonesia.
Hal ini antara lain disebabkan karena sejak masa prasejarah, Nusantara adalah tempat bertemunya aneka suku bangsa.Â
Pada 2019 lalu, majalah Historia mempublikasikan hasil tes DNA dengan 16 responden acak orang Indonesia dalam Proyek DNA Penelusuran Leluhur Orang Indonesia Asli.
Hasilnya, tidak ada yang dinamakan manusia pribumi atau asli Indonesia.Â
Deputi Fundamental Eijkman Institute Prof Dr Herawati Aru Sudoyo kala itu menyatakan, "Kalau pribumi harusnya 100 persen Indonesia. Tapi hasilnya, dari 16 responden semuanya bercampur (asal moyangnya), tidak ada yang 100 persen Indonesia. Jadi tidak ada yang bisa mengklaim pribumi asli."
Salah satu relawan Tes DNA itu adalah Noorsabri. Pria asal Yogyakarta yang berkulit gelap dan bermata besar ini mengidentifikasikan diri sebagai keturunan Jawa asli.
Akan tetapi, hasil tes DNA menunjukkan bahwa dirinya memiliki tingkat kandungan ras Tionghoa paling tinggi di antara presentase asal moyang lainnya, termasuk Grace Natalie. Grace Natalie justru dideteksi memiliki kandungan DNA lebih besar dari Asia Timur (India dan Afghanistan).
Dari hasil penelitian ini, kita patut menduga, mungkin juga ada DNA Tionghoa dalam diri kita. Jangan lupa, salah satu teori yang kini diakui kesahihannya adalah teori Out of Taiwan.
Menurut teori Out of Taiwan, nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari migrasi orang Taiwan. Mereka tiba pertama kali di Filipina bagian utara sekitar 4500 hingga 3000 SM.Â
Kemudian pada sekitar 3500 hingga 2000 SM, manusia purba yang tinggal di Filipina bermigrasi ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara. Mereka lantas menyebar ke Jawa, Sumatra, Nusa Tenggara, Papua bagian Barat, Oseania, hingga mencapai Melanesia di Pasifik.
Karena itu mari kita rayakan Imlek 2022 dengan merayakan pengaruh Tionghoa dalam diri kita, yang mungkin belum kita sadari.Â
Menutup tulisan sederhana ini, saya sampaikan selamat merayakan Imlek. Xīn nián kuà i lè.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI