Kehidupan keluarga besarku sangat lekat dengan kehadiran Asisten Rumah Tangga. Keluargaku pun belajar menjadi majikan yang baik bagi ART. Ya, bukan hanya ART saja yang terus dituntut jadi baik.
Ketika aku kecil, papa dan mama memiliki sejumlah usaha kecil. Macam-macam. Warung kelontong, warung makan, dan usaha tanaman hias.
Tidak mungkin menjalankan semua sendiri. Apalagi ada aku dan adik-adikku yang perlu diasuh.
Gonta-ganti ART
ART dan karyawan yang bekerja bersama keluarga kami dalam kurun waktu 30 tahun jika dihitung sekitar 50an.
Mengapa cukup banyak pergantian ART dan karyawan? Apakah karena kami sebagai majikan gagal menjadi majikan yang baik? Ini pertanyaan yang kami dalami sebagai keluarga.
Alasan ART tidak betah
Kota tempat kami tinggal adalah kota kabupaten di DIY. Cukup mudah mencari ART baru, apalagi pada sepuluh tahun lalu. Kondisi geografis dan minimnya lapangan kerja membuat ketersediaan calon ART berlimpah.
Ada beberapa alasan yang membuat ART tidak betah. Biasanya karena ingin bekerja di Kota Yogyakarta dengan gaji yang lebih tinggi. Juga karena tidak "kuat" mengikuti tuntutan kerja serabutan yang sempat diterapkan orang tuaku.
Alasan lain adalah karena ketidakjujuran pegawai. Maklumlah, adanya bisnis dengan pembayaran uang tunai menjadi godaan besar. Apalagi orang tua kami bukan model majikan yang setia menjaga sebagai kasir.
Rupanya kepercayaan pada pegawai, bahkan yang sudah bekerja lama, selalu bisa disalahgunakan.
Adik saya dengan penuh keterbukaan mengkritik orang tua saya yang "gagal" membuat ART dan pegawai betah.
Bukan berarti orang tua kami jahat terhadap ART. Hanya saja, harus diakui gaji yang kami berikan sempat tidak setimpal dengan tuntutan kerja. Juga sikap dalam memberi perintah dan peringatan pada ART tidak selalu dengan lembut.
Kami belajar menjadi majikan yang baik
Tahun-tahun terakhir, ada perubahan besar dalam kesetiaan ART dan karyawan pada keluarga kami.
Sikap dan pengorganisasian kami pun sudah berubah drastis. Sekarang karyawan dan ART bekerja sesuai sif. Beban kerja berkurang.
Perlakuan kami terhadap ART dan karyawan kiranya semakin baik. Walaupun upah tidak tinggi, kami memberikan tunjangan hari-hari raya dan bantuan jika ada kebutuhan mendesak.
Liburan bersama karyawan juga kini menjadi agenda yang nyaris rutin. Demikian pula silaturahmi ke rumah mereka.
Cara kami memberi perintah dan peringatan pada ART dan pegawai kini lebih jelas dan ramah. Kami juga meminta masukan dari pegawai untuk kemajuan bisnis kecil keluarga kami.
Meminta maaf pada ART dan pegawai kini bukan hal aneh lagi karena kami menyadari, kami juga bukan insan sempurna.
Dampaknya, kejujuran karyawan meningkat. Apalagi di hati karyawan, ada rasa syukur bahwa mereka bisa diizinkan bekerja di tengah keluarga kami yang memprioritaskan calon karyawan dari keluarga yang sangat memerlukan bantuan.
Akhir-akhir ini, apalagi di tengah pandemi, banyak sekali lamaran kerja yang masuk ke toko kami. Kami pun berusaha memilah dan memilih calon karyawan yang sungguh menjadi tulang punggung keluarga mereka.
Ketika kami harus bepergian jauh, karyawan justru yang menolak toko kecil kami tutup sementara. Bukan karena mereka lantas bisa berlaku tidak jujur.
Mereka tidak ingin pelanggan toko kami pindah ke lain hati. Juga karena di toko kami, ada layanan cuci setrika pakaian dan fotokopi yang diperlukan banyak orang.
Jika pun ada ketidakjujuran, anggaplah itu bagian dari kehidupan manusia dan lika-liku bisnis rumahan.
Oh iya, satu hal lagi. Beberapa kali mantan ART dan pegawai kembali bekerja di tengah keluarga kami. Artinya, keluarga kami pelan-pelan menjadi majikan yang bikin rindu para mantan karyawan.
Kalau Anda, bikin rindu mantan juga, kan? ☺️
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H