Belum lagi komunitas-komunitas lain yang rajin menyelenggarakan webinar, lomba menulis, aksi solidaritas sosial, dan sebagainya.Â
Kadang ada gesekan di Kompasiana dan di dalam komunitas Kompasiana, tetapi wajar saja. Tiada komunitas yang tanpa konflik dan intrik.Â
Ketertarikan saya membaca dan menulis di Kompasiana ini dipicu juga oleh manfaat sosial yang saya dapatkan.Â
Saya dapat menyelami keseharian dan pergulatan insan-insan inspiratif, antara lain, oleh para penggerak literasi seperti Ibu Anis Hidayatie di Malang dan Bung Roman Rendusara di NTT; penolong sesama manusia seperti Bapak Bambang Setyawan di Salatiga; dan petani muda seperti saudara Guido di NTT.
Kompasiana juga membuka kesempatan luas bagi jurnalis warga untuk meliput kondisi aktual di sekitarnya. Ada kolom Halo Lokal. Ini mendobrak kecenderungan media arus utama yang melulu mengulik Jakarta dan Jawa.Â
Tulisan-tulisan dari Aceh sampai Papua tersaji dengan indahnya. Banyak pula penulis muda potensial dari luar Jawa yang membuktikan cintanya pada literasi dengan menulis artikel bermutu tinggi.Â
Ada pula tokoh-tokoh intelektual dan publik yang rela berbagi wawasan kepada warga biasa tanpa mematok honorarium per artikel yang sepantasnya mereka terima.Â
Ada kompasianer senior yang rendah hati. Ada kompasianer setia yang menulis karena cinta. Ada kompasianer kapal selam seperti saya, yang kadang muncul dan kadang tenggelam.Â