"Saya hanya bisa menulis fiksi saja. Selalu ragu dan tidak percaya diri kala menulis non-fiksi"
Mungkin pernyataan di atas mampu melukiskan isi hati sejumlah penulis fiksi yang merasa ragu kala ingin menulis tulisan non-fiksi. "Aku cuma nyaman berpuisi dan menulis cerpen saja. Menulis artikel semacam ulasan opini yang panjang-panjang aku tak sanggup."
Sebagai penulis pemula yang mencoba menulis fiksi dan non-fiksi, saya ingin berbagi pengalaman untuk menanggapi keraguan ini.
Pertama-tama, kita perlu mengenali sumber keraguan kala hendak menulis tulisan non-fiksi. Saya membagi sumber atau alasan keraguan itu menjadi beberapa alasan:
Pertama, kurangnya pengalaman positif kala menulis non-fiksi
Bisa jadi, seorang pernah mengalami perundungan atau bullying kala menulis tulisan non-fiksi di masa lalu. Mungkin saja, ada sebagian teman yang pernah mengejek karyanya sehingga si penulis ini trauma.
"Wah, artikelmu kok gitu doang, sih?" Hmm...siapa tak jengkel dan malu kala dirundung seperti itu. Jika pengalaman dirundung ini tak diolah dengan baik, seseorang bisa sangat ragu menulis karya non-fiksi.
Selain itu, bisa jadi seseorang memang kurang memiliki pengalaman positif kala menulis non-fiksi. Umpama, nilai yang diberikan guru atas karya non-fiksi siswa pas-pasan semasa sekolah dulu. Atau, selalu gagal menembus media massa dan gagal menang lomba non-fiksi.
Frustasi atas minimnya apresiasi atas karya non-fiksi bisa jadi alasan munculnya keraguan kala ingin menulis non-fiksi (lagi) di usia dewasa.Â
Kedua, kurangnya kemampuan menyusun kalimat dan paragraf yang padu
Alasan keraguan lain untuk menulis artikel non-fiksi adalah rendahnya kemampuan penulis untuk menyusun kalimat dan paragraf yang padu.
"Saya tidak bisa menulis panjang-panjang. Saya juga tidak mampu menguraikan gagasan secara runtut."
Alasan ini sebenarnya sangat bisa kita maklumi karena memang pelajaran bahasa Indonesia setakat ini kurang memacu keterampilan menulis dan berargumentasi. Ini adalah juga kelemahan utama pendidikan di Indonesia yang masih saja berorientasi pada nilai ujian alih-alih keterampilan siswa.Â
Alasan mengapa penulis fiksi tidak perlu ragu menulis karya non-fiksi
Sejatinya ada sejumlah alasan mengapa penulis fiksi tidak perlu ragu menulis karya non-fiksi, misalnya opini dan feature:
Pertama, keterampilan menulis non-fiksi tidak sangat berbeda dengan keterampilan menulis fiksi.
Bukankah menulis, baik fiksi maupun non-fiksi, adalah merangkai aksara, kata, kalimat, dan gagasan agar menjadi karya yang padu? Mengapa ragu menjadi juga penulis non-fiksi?Â
Kedua, penulis fiksi justru memiliki keunggulan saat menulis artikel non-fiksi
Nah, sejatinya penulis fiksi justru memiliki keunggulan saat menulis artikel non-fiksi. Saya sebagai penulis fiksi (biarpun masih pemula) bisa menunjukkan salah satu contoh keunggulan tersebut.
Kita yang terbiasa menulis fiksi lazimnya lebih unggul dalam menggunakan panca indra dalam menulis. Ini kurang dimiliki para penulis yang hanya menulis non-fiksi saja.Â
Contoh: Di hadapan seorang penulis fiksi, perjumpaan dengan seorang pemulung renta bisa dilukiskan dengan sangat rinci.
"Pria itu menyandarkan punggung rentanya/ Peluh mengucur bak hujan dari dahinya/ Bau busuk dari tong sampah tak ia hiraukan demi nafkah anaknya."
Seorang penulis opini koran nasional belum tentu bisa merangkai kalimat-kalimat apik berima di atas.Â
Seandainya penulis fiksi ini berani menulis artikel opini atau feature, ia bisa menyelipkan kalimat-kalimat puitis dalam anggitannya. Pembaca akan terpesona.Â
Kiat menulis karya non-fiksi bagi penulis fiksi
Saya meyakini, para penulis fiksi sangat bisa menulis karya non-fiksi yang juga apik. Berikut ini kiat menulis karya non-fiksi bagi penulis fiksi:
Pertama, bangun keyakinan diri bahwa "aku bisa menulis tulisan non-fiksi dengan baik".Â
Semua hal berawal dari keyakinan diri. Biarpun di masa lalu ada trauma dan pengalaman kurang positif kala menulis non-fiksi, saatnya kini membangun keyakinan diri bahwa "aku bisa menulis tulisan non-fiksi dengan baik".
Mungkin ada suara di benak Anda yang mengatakan, "Aku hanya bisa menulis puisi dan karya fiksi." Hmm, coba kritisi suara itu. Siapa yang mengatakan Anda hanya bisa menulis fiksi saja? Bukankah Tuhan YME menganugerahkan kemampuan bagi manusia untuk terus berkembang?Â
Kedua, perbanyak membaca tulisan non-fiksi bermutu sebagai rujukan menulis
Alah bisa karena biasa. Keterampilan menulis karya non-fiksi juga didapat dari kebiasaan membaca tulisan non-fiksi bermutu sebagai rujukan menulis.
Amatilah karya para penulis handal dan profesional. Apa yang membuat tulisan mereka menarik? Apa yang bisa kita petik dari gaya penulisan mereka?
Ketiga, mulailah dengan menulis feature dan diary
Dua bentuk tulisan non-fiksi yang mirip dengan fiksi adalah feature dan diary. Feature secara ringkas adalah berita yang dikemas dengan bentuk kisah yang mengalir. Baca selengkapnya di tulisan Tip Menulis Feature yang Menarik Pembaca ini.Â
Sementara itu, diary adalah kisah pribadi yang dikemas dengan sentuhan personal sehingga seolah pembaca sedang diajak ngobrol penulisnya.Â
Keempat, mulailah dengan memublikasikan karya non-fiksi pada platform yang nyaman
Kita perlu memulai memublikasikan karya non-fiksi pada platfrom menulis yang nyaman. Kompasiana salah satunya. Bisa juga bog pribadi yang bisa dibuat gratis.Â
Rendah hati dan siap mental menerima masukan dan kesan pembaca. Semua demi perbaikan mutu tulisan kita.Â
Kelima, mulailah sekarang
Iya, jangan tunggu-tunggu lagi. Mulailah menulis karya non-fiksi sekarang juga. Kombinasikan dengan kemampuan menulis fiksi  yang Anda miliki.Â
Salam edukasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H