Demikian pula, pilihan untuk hidup melajang sebagai seorang Katolik yang baik di tengah masyarakat sangat dihargai sebagai hal yang patut dipuji. Karena itu, ada orang Katolik yang menikah, selibat sebagai biarawan/biarawati dan pastor, dan ada pula yang hidup melajang sebagai umat awam.Â
Kisah seorang wanita lajang
Saya mengenal seorang wanita lajang yang memang menjadikan hidup tidak menikah sebagai pilihan hidupnya. Ia berusia sekitar 3o tahun saat saya bersua dengannya di sebuah panti asuhan putri.
Tina, sebut saja demikian, membaktikan hidupnya untuk menjadi pengasuh anak-anak yatim piatu dan anak-anak miskin di panti itu. Ia dengan sabar merawat anak-anak yang bukan darah dagingnya sendiri.Â
Beberapa waktu lalu saya kembali menghubungi Tina untuk menanyakan kabarnya. Ia mengatakan, ia sudah tidak bekerja di panti asuhan putri. Akan tetapi, ia pindah ke asrama sekolah untuk menjadi ibu asrama.Â
Gaji yang tak seberapa bukan penghalang baginya untuk mendedikasikan hidupnya bagi dunia pendidikan. Ia bahagia sebagai wanita lajang.
Kisah seorang pria lajang
Kebetulan saya juga mengenal seorang pria yang terbilang ganteng. (Saya lebih ganteng sedikit, dong ^_^). Ia dahulu bekerja di sebuah restoran ternama. Penghasilannya lumayan.Â
Ketika menginjak usia 35, Alfa (nama fiktif) belum juga tampak berencana menikah. Sebagian kerabat berupaya membantunya menemukan wanita sebagai calon istrinya. Bahkan sudah dijodoh-jodohkan.
Akan tetapi, Alfa menolak dengan halus bujukan dan "perjodohan" itu. Alfa kini tinggal di kampung halamannya sebagai wiraswastawan yang berkecukupan.Â
Beberapa orang berkomentar, "Duh, sayang sekali, ya. Ganteng-ganteng tapi tidak punya istri." Meski demikian, Alfa tampak bahagia dengan pilihan hidupnya untuk tidak menikah dan menikmati hidup sebagai seorang lajang.Â