Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tiga Kontroversi European Super League dan Dampaknya bagi Indonesia dan Dunia

20 April 2021   06:34 Diperbarui: 21 April 2021   13:46 1204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Motto European Super League - tangyar dokpri

Dunia sepak bola dan bahkan politik dihebohkan oleh kontroversi European Super League. Sesuai bocoran media, rencana Liga Super Eropa ini sungguh diumumkan 12 klub pendiri pada Minggu, 18 April 2021. 

Apa sebenarnya tiga inti kontroversi European Super League? Mengapa FIFA, Perdana Menteri Inggris dan Presiden Perancis sampai mengecam rencana European Super League ini? Apa dampak kontroversi ESL bagi sepak bola Indonesia dan dunia?

Sejarah pendirian European Super League

Tim-tim pendiri European Super League adalah Manchester United, Manchester City, Liverpool, Tottenham Hotspurs, Chelsea, dan Arsenal (Inggris), Barcelona, Atletico Madrid, dan Real Madrid (Spanyol), Juventus, AC Milan, dan Inter Milan (Italia).

European Super League (ESL) digagas sejak 1998 guna menggantikan Liga Champions Eropa versi UEFA. 

Beberapa tokoh ada di balik ESL yang sejak semula ditentang FIFA sebagai otoritas sepak bola dunia. Ada Florentino Perez (Real Madrid), Andrea Agnelli (Juventus), Joel Glazer (Manchester United), John Henry (Liverpool), dan Stan Kroenke (Arsenal).

Dalam pernyataan resminya, ESL hendak menampilkan dua puluh tim, termasuk lima belas klub pendiri. Lima tempat tersisa akan ditentukan oleh mekanisme kualifikasi berdasarkan kinerja tim di musim sebelumnya. 

Format European Super League (ESL)

Motto European Super League - tangyar dokpri
Motto European Super League - tangyar dokpri
Mulai Agustus, tim-tim peserta akan dibagi menjadi dua grup yang terdiri dari sepuluh tim. Tim memainkan pertandingan kandang dan tandang selama pertengahan pekan, untuk memungkinkan klub tetap berpartisipasi di liga domestik mereka. 

Tiga tim teratas dari setiap grup akan lolos ke perempat final, sementara tim-tim yang finis keempat dan kelima dari masing-masing grup akan bersaing dalam dua leg play-off untuk menentukan dua perempat finalis terakhir.

Sisa kompetisi akan berlangsung dalam rentang empat minggu di akhir musim. Perempat final dan semifinal berlangsung dua leg atau dua kali, sementara final pada bulan Mei akan diperebutkan sebagai pertandingan tunggal di tempat netral. 

Saat ini baru 12 tim yang resmi menyatakan diri sebagai tim-tim pendiri. Artinya mungkin masih ada tiga tim lain yang akan melengkapi 15 tim pendiri. Tim mana saja? Suatu misteri. ESL ini bisa dimulai Agustus 2021 jika semua "sesuai rencana"!

Inilah tiga inti kontroversi European Super League (ESL) atau Liga Super Eropa yang akhir-akhir ini ramai dikecam:

Pertama, merusak tatanan kompetisi sepak bola berdasarkan prestasi

Menurut rencana, European Super League akan diikuti 15 klub pendiri ditambah 5 klub lolos kualifikasi. Artinya kompetisi ini melanggengkan 15 klub pendiri yang tidak bisa turun ke divisi bawah. 

Olahraga pada intinya adalah pembuktian prestasi atlet dan perangkat tim. Dalam Olimpiade, ada semboyan  "Citius, Altius, Fortius". Ungkapan dari dalam bahasa Latin ini bermakna "Lebih cepat, Lebih tinggi, Lebih kuat" 

European Super League merusak tatanan kompetisi olahraga yang didasarkan pada prestasi.

Lima belas klub tinggal duduk santai tiap tahun dan menikmati uang sponsor tanpa takut degradasi. Ini tidak adil, terutama bagi tim-tim di luar 15 tim pendiri yang harus bekerja keras untuk bisa masuk kompetisi (nyaris) eksklusif ini.

Kedua, memutuskan hubungan sejarah dan emosional dengan suporter

Ternyata keputusan 12 tim pendiri untuk membuat European Super League ini diambil sepihak oleh para pemilik dan pengurus 12 tim pendiri. Suara suporter setia tidak didengarkan.

Karena itu, menurut BBC, enam kelompok suporter tim-tim Inggris menolak keras rencana European Super League ini. Padahal, klub menjadi besar karena dukungan suporter.

Ini adalah dampak dari kepemilikan klub-klub yang kini beralih ke investor luar negeri. Tim-tim besar Eropa kini sebagian besar dimiliki investor asing. MU di Liga Inggris, misalnya, dimiliki investor AS.

Para investor asing ini tidak (terlalu) peduli dengan sejarah klub dan suara suporter. Yang penting dapat uang. Titik. 

Bisa dibayangkan, jika misalnya Liverpool dan MU tak lagi berlaga di Liga Inggris (karena otoritas Liga Inggris tidak setujui rencana ESL), partisipasi dua klub ini di Liga Inggris akan berhenti mendadak.

Padahal, rivalitas MU dan Liverpool di Liga Inggris adalah magnet yang menyatukan sekaligus memisahkan warga Merseyside Inggris. Ibarat rivalitas Persija dan Persib atau PSIM dan PSS yang selalu seru.

ESL menganggap sepi ikatan historis dan emosional antara kota, klub, dan suporter bola.

Okelah, MU dan Liverpool akan bertemu di ESL. Akan tetapi, mereka tidak lagi bersaing meraih gelar Liga Inggris yang sangat bermakna bagi suporter dan (mantan) pemain kedua kesebelasan.

Selain itu, kriteria lima klub lolos kualifikasi juga belum jelas. Dari liga mana saja? Bagaimana nasib klub kualifikasi ketika tahun depan kembali ke liga domestik? Apakah liga domestik mau menerima lagi "bekas ESL"? Sejauh ini, semua liga besar Eropa tidak setujui ESL!

Ketiga,  mengacaukan tatanan sepak bola global dan lokal

FIFA telah memperingatkan, para pemain klub-klub anggota European Super League bisa hilang peluang memperkuat tim nasional di ajang resmi FIFA.

Coba bayangkan, Piala Dunia tanpa kehadiran Cristiano Ronaldo (Juventus), Lionel Messi (Barcelona), Mohammed Salah (Liverpool), dan banyak bintang lain. 

Di tingkat lokal, liga-liga domestik akan kelimpungan karena kehilangan tim-tim besar yang selama ini membuat liga menarik bagi penonton dan sponsor. Liga Inggris tanpa enam klub di atas akan tampak ganjil. 

Para pemain ESL akan sangat dirugikan jika dilarang tampil membela negara di ajang FIFA. Bayangkan jika suatu saat nanti ada bintang muda Indonesia yang main di Arsenal atau Inter Milan (anggota tetap ESL). Dia akan dilarang main di Timnas Indonesia!

Padahal, membela timnas adalah panggilan jiwa setiap atlet.

Tak heran, para kepala pemerintahan seperti PM Boris Johnson (Inggris) dan Presiden Macron (Perancis) pun mengecam European Super League.

Saat ini, kita hanya bisa membayangkan perasaan para pemain klub-klub ESL yang terancam tak bisa main di ajang FIFA. Mungkin saja gaji mereka akan naik, tetapi apakah mereka bahagia?

Mengapa suporter muda dan 12 klub inginkan ESL?

Di sisi lain, sebuah jajak pendapat mengemukakan, suporter berusia muda lebih terbuka menerima ide European Super League. Maklum saja, para suporter muda ini tak terlalu peduli dengan sejarah dan rivalitas masa lalu.

Memang, ESL ini tak sepenuhnya akibat kerakusan klub-klub besar. Para pengurus dan pemilik klub-klub besar konon merasa jengah karena UEFA dan liga domestik gagal mendatangkan keuntungan besar bagi mereka.

Klub-klub besar merasa dijadikan sapi perah UEFA yang mendapat sponsor untuk Champions League dan Europa League, namun kurang beri uang pada mereka.

Pendapatan dari pertandingan tengah pekan (midweek game) terlalu sedikit bagi klub-klub raksasa. Klub-klub besar merasa "dipaksa" main tengah pekan melawan tim-tim semenjana pada ajang piala domestik yang hadiahnya sedikit. Karena itu, ESL berhadiah jumbo yang digelar di tengah pekan menjadi solusi.

Sponsor jumbo dari luar Eropa pun siap mendanai ESL, liga para bintang nan gemerlap. Di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi, pilihan 12 klub untuk menikmati manisnya uang sponsor ESL sangat logis.

European Super League sejatinya adalah ketegangan antara idealisme dan realitas megabisnis sepak bola dunia.

Dampak European Super League bagi sepak bola Indonesia dan dunia

Hmm...jangan pikir ide European Super League ini hanya akan berhenti di Eropa. Mungkin saja, suatu saat nanti, akan ada Pan Asian Super League, African Super League, dan South American Super League!  Bahkan, bisa jadi, ada Piala Dunia non-FIFA khusus pemain ESL, PASL, ASL, SASL, dan sebagainya!

Di sisi lain, siapa tahu atlet sepak bola Indonesia makin terpacu untuk bisa memperkuat salah satu tim ESL yang sangat prestisius. Siapa tak bangga bermain tiap minggu (!) melawan bintang-bintang dunia?

Lepas dari semua itu, ESL telah sungguh-sungguh menimbulkan iri hati, kekecewaan, dan kontroversi di dalam dan luar dunia sepak bola Eropa. 

Hampir semua pencinta sepak bola nasional ikut menanti: apa dampak bola liar ESL yang baru saja disepak. 

Nah, Anda setuju nggak dengan konsep ala ESL? Silakan berkomentar dan menuangkan gagasan dalam tulisan tanggapan. Salam sehat.

Sumber: 1 dan 2. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun