Alkitab memuat pandangan yang luas mengenai kenyataan hidup manusia, termasuk difabilitas. Apakah ada kisah tentang penyandang difabilitas atau cacat dalam Alkitab? Bagaimana Alkitab memandang penderita difabilitas?
Tulisan ini mengulas secara sekilas panorama difabilitas dalam Alkitab dengan bahasa sederhana agar dapat dipahami pembaca umum. Harapannya, siapa pun dapat memahami pandangan Alkitab atas penderita difabilitas. Wawasan akan agama-agama ini kiranya penting dalam konteks hidup di negeri Bhinneka Tunggal Ika.
Kebaikan Raja Daud pada seorang anak penderita difabilitas
Salah satu kisah Anak Berkebutuhan Khusus atau ABK dalam Alkitab adalah kisah Daud dan Mefiboset dalam Kitab 2 Samuel 9.
Mefiboset adalah anak Yonatan, sahabat Raja Daud. Mefiboset mengalami kelumpuhan kaki sejak berumur lima tahun akibat jatuh dari gendongan pengasuhnya (2 Sam 4:4).
Dunia memandang Mefiboset sebagai seorang lumpuh yang hanya merepotkan orang lain. Ia tidak bisa ikut berperang sebagai prajurit. Tidak bisa pula meladang dan bekerja memenuhi keperluannya sendiri.
Akan tetapi, Raja Daud justru amat menyayangi Mefiboset, yang kini telah dewasa. Ia diajaknya untuk tinggal seistana dengannya di Yerusalem. Daud mengembalikan status Mefiboset sebagai seorang pangeran. Raja Daud menjadi teladan seorang yang peduli pada pribadi berkebutuhan khusus.
Bagaimana Alkitab memandang difabilitas?
Harus kita akui, dalam Alkitab ada juga pandangan bahwa penyandang difabilitas tidak pantas menjalani jabatan religius tertentu dan bahwa difabilitas dipandang sebagai hukuman atas dosa (orang tua). Misalnya, Imamat 21:17-24 memuat larangan orang bercacat dalam keluarga Harun untuk mempersembahkan kurban.
Penting kita pahami bahwa Alkitab memuat pandangan-pandangan negatif itu tapi bukan berarti Allah menyetujui pandangan-pandangan negatif itu.
Sama halnya, Alkitab memuat kisah penyembahan berhala dan aneka dosa, tetapi bukan berarti Allah menyetujui semua hal negatif tadi.
Alkitab justru mau mengoreksi pandangan-pandangan keliru tentang difabilitas. Terkait Imamat 21:17-24 yang memuat diskriminasi terhadap penyandang difabilitas, kita perlu memahaminya dalam alam pikir Yahudi (Perjanjian Lama).
Dalam pemikiran orang Yahudi waktu itu, anak domba yang dipersembahkan pada Allah saja haruslah yang tidak cacat (Imamat 4:32). Logika pada waktu itu, imam yang mempersembahkan juga harus tidak bercacat fisik.
Kita tahu, yang berkenan pada Allah adalah hati, bukan soal penampilan fisik. “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati" (1 Samuel 16:7).
Allah melibatkan penyandang disabilitas dalam karya kebaikan
Alkitab mengisahkan sejumlah kisah penyandang disabilitas yang dilibatkan Allah dalam karya kebaikan-Nya bagi manusia.
Pertama, kisah Musa yang sempat merasa keberatan ketika Allah memanggilnya untuk menolong bangsa Israel dari penindasan di Mesir. Musa berkata kepada Tuhan: “Ah, Tuhan, aku ini tidak pandai bicara…sebab aku berat mulut dan berat lidah.” Tetapi Tuhan berfirman: “Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau, apa yang harus kaukatakan” (Keluaran 4:10.12).
Kedua, kisah orang lumpuh yang memuliakan Allah setelah mendapatkan kesembuhan. Injil mencatat, “Seketika itu juga bangunlah ia, di depan mereka, lalu mengangkat tempat tidurnya dan pulang ke rumahnya sambil memuliakan Allah” (Lukas 5:25).
Dalam dua kisah di atas, para penyandang disabilitas rupanya dibimbing oleh Allah untuk menjadi pembawa kebaikan. Singkat kata, para penyandang disabilitas sungguh bermartabat luhur di hadapan Allah. Kita pun diajak untuk mencintai para penyandang disabilitas secara tulus.
Yesus menyembuhkan para penderita disabilitas
Ada dua aspek pelayanan Yesus kepada orang sakit dan yang mengalami disabilitas:
Pertama, Yesus menyentuh mereka yang sakit baik jasmani maupun rohani.
Yesus menyentuh penderita kusta (Markus 1:41), meletakkan tangan di atas orang buta (Markus 8:22), dan memegang tangan putri Yairus (Lukas 8:54).
Kedua, Yesus membawa kembali "orang buangan" ke dalam masyarakat.
Melalui penyembuhan-Nya dengan sabda dan sentuhan, Yesus menolak gagasan bahwa penyakit dan disabilitas adalah akibat dari dosa. Pada masa itu, orang sakit dan cacat dianggap sedang dihukum oleh Tuhan dan dipisahkan dari umat Tuhan yang suci.
Saat murid-muridnya bertanya, "Tuhan, siapa yang berdosa, orang ini atau orang tuanya, sehingga dia dilahirkan buta?" (Yohanes 9: 2), Yesus menjawab, orang buta maupun orang tuanya tidak berdosa. Kebutaan itu terjadi "agar pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia" (Yohanes 9:3).
Menafsir wabah dan penyakit serta difabilitas
Wasana kata, penyakit dan disabilitas pada dasarnya adalah wujud penderitaan yang menjadi bagian dari hidup manusia di dunia. Dalam peristiwa tertentu, memang benar Tuhan menghukum melalui wabah dan penyakit. Akan tetapi, tujuannya adalah untuk mempertobatkan manusia.
Kutipan dari Kitab Nabi Yeremia 29:11 ini menegaskan bahwa rencana Tuhan baik adanya. "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan."
Salam damai. Salam sehat untuk para sahabat pembaca tulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H