Pada awal Januari tahun ini, Gunung Merapi sempat menjadi topik tren di jagad media sosial. Merapi kembali memasuki fase letusan. Hingga saat ini pun, gunung berapi yang terkenal dahsyat letusan dan awan panasnya ini juga terus memuntahkan lava pijar.Â
Gunung Merapi bagi orang asli Jogja bukan sekadar gunung. Ada aneka kisah mistis, juga seputar letusan Merapi, yang beredar dari mulut ke mulut dan dipercaya oleh sebagian kalangan. Sebagai orang asli Jogja, saya tertarik mengulas aneka kisah mistis ini secara antropologis.
1. Merapi sebagai bagian dari poros Sumbu (Imajiner) Yogyakarta
Para wisatawan yang baru sekali atau dua kali ke Jogja mungkin tidak begitu menyadari bahwa sebagian dari objek-objek wisata yang mereka kunjungi sebenarnya memiliki makna.
Mungkin Anda pernah mengunjungi Pantai Parangkusumo, Pantai Parangtritis, Keraton Yogya, kawasan Malioboro, dan wisata Gunung Merapi. Tahukah Anda bahwa kawasan-kawasan itu membentuk Sumbu Imajiner Kota Yogyakarta?
Laman wikipedia bahkan membuat penjelasan khusus tentang Sumbu Imajiner Yogyakarta ini. Mengapa? Karena memang hal ini penting dalam pemahaman orang asli Jogja mengenai realitas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Poros pertama dari Sumbu Imajiner ini adalah Laut Selatan, yang diwakili Pantai Parangkusumo. Dipercayai bahwa Laut Selatan dikuasai oleh Nyi Roro Kidul, sang ratu mitologis. Di Pantai Parangkusumo, diadakan prosesi upacara labuhan Parangkusumo. Â
Poros lain dari Garis Imajiner Yogyakarta adalah Panggung Krapyak, Keraton, dan Tugu Pal Putih. Tugu ciri khas penanda Yogya ini terletak di perempatan Jalan Margo Utomo, Jalan A.M. Sangaji, Jalan Jenderal Sudirman, dan Jalan Pangeran Diponegoro.Â
Nah, jika ditarik garis lurus imajiner dari Pantai Parangkusumo dengan melewati Panggung Krapyak, Keraton, dan Tugu Pal Putih, kita akan diarahkan ke Gunung Merapi.
Merapi adalah lambang laki-laki. Laut Selatan dengan Nyi Roro Kidul adalah simbol perempuan. Keraton di tengah sebagai penyeimbang dua kekuatan kosmik ini.Â
2. Letusan Merapi sebagai "resepsi" para penunggu Merapi
Letusan Merapi memang di satu sisi sangat membahayakan, namun di sisi lain juga membawa manfaat berupa kesuburan tanah dan bahan bangunan. Tanpa letusan Merapi, Jogja dan kawasan seputar Merapi tidak akan subur dan maju seperti sekarang ini.Â
Bahkan sejak beberapa tahun terakhir ada wisata letusan Merapi atau Lava Tour serta agroturisme dengan memanfaatkan pesona Merapi.
Saya mendengar kesaksian warga lereng Merapi saat saya bertugas membantu sebuah gereja di kawasan tersebut beberapa tahun silam. "Saya mendengar suara gamelan ditabuh sebelum Eyang Merapi meletus," kata seorang warga pada saya.
Saya awalnya juga ragu-ragu. Akan tetapi, beberapa warga lain juga mengatakan hal serupa. Mereka adalah warga desa bersahaja yang tulus hati. Jelas bukan tipe pembohong.
Bagi orang asli Jogja, lebih-lebih warga sekitar lereng Merapi, letusan Merapi adalah "resepsi" para roh penunggu Merapi. Seringkali terdengar suara musik gamelan sebagai pertanda Merapi akan atau sedang meletus.Â
3. Batu besar yang sulit dipindah sebagai batu yang "ada penunggunya"
Setelah erupsi Merapi, sungai-sungai yang berhulu di gunung itu lazimnya dipenuhi batu dan pasir. Nah, di beberapa lokasi, ada juga batu-batu besar dari hasil letusan Merapi yang sulit dipindah manusia dengan alat canggih sekalipun.
Salah satu contoh batu besar itu adalah batu di Desa Bronggang yang selalu gagal dipindahkan, bahkan oleh alat berat BNPB. Sesepuh atau tokoh desa setempat mengatakan, batu itu sudah nyaman berada di situ sehingga "menolak" untuk dipindahkan. Warga mengatakan, batu itu ada penunggunya.Â
Telaah antropologis
Tanpa perlu mengutip pendapat ahli, saya sebagai orang Jogja mengalami sendiri betapa vitalnya peran Merapi dalam keseharian orang DIY. Tahukah Anda, bahwa orang Jogja tidak perlu kompas untuk menentukan arah?
Dari sebagian besar kawasan DIY, cukup menengok ke arah Gunung Merapi, kita akan tahu arah utara. Merapi menjadi penunjuk arah yang  sangat bisa diandalkan dan murah meriah. Mbah Merapi tak kalah cerdas dari Mbah Gugel ^_^.
Belum lagi bila kita bicara soal dampak ekonomi Merapi. Pertanian, pertambangan batu dan pasir kualitas unggul, agrowisata, lava tour, dan sebagainya tercipta berkat Merapi yang rajin meletus.Â
Merapi adalah kehidupan. Menjaga Merapi adalah kewajiban.
Bagi warga desa bersahaja yang hidupnya menyatu dengan Merapi, sangat wajar mereka mengalami Merapi sebagai pribadi yang hidup. Merapi bukan seonggok gunung, tetapi sungguh hidup.Â
Sungguh hidup berarti punya roh. Roh yang "bisa" memainkan musik gamelan. Roh yang "mampu" membuat oknum pendaki tak tahu aturan jadi tersesat. Roh yang "meminta" untuk dihormati dan tidak diganggu.
Singkat kata, Merapi bagi orang asli Jogja bukan sekadar gunung yang menakutkan. Ia adalah sumber penghidupan dan penunjuk arah langkah dalam hidup sehari-hari.Â
Salam lestari. Salam edukasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H