Saya kira kita semua sepakat bahwa salah satu kebutuhan dasar manusia adalah merasa dicintai, diterima, dan dihargai. Pula para penulis Kompasiana memiliki kebutuhan dasariah itu.
Saya dan rekan-rekan Kompasianer tidak meminta sesuatu yang istimewa. Cukup berilah kami penghargaan yang wajar.Â
Setiap huruf yang kami ketik adalah ungkapan cinta pada literasi di negeri ini.
Sayangnya, sistem karantina artikel -setidaknya yang saya alami sendiri- tidak menunjukkan penghargaan pada tulisan yang dianggit dengan cinta. Bukan pertama kali ini saya mengalaminya. Beberapa bulan lalu saya juga mengalami hal serupa, jauh sebelum Kompasiana menerapkan kurasi ketat kata-kata kunci tertentu.
Ketidaknyamanan untuk penulis tulus dan jujur
Dari kisah teman-teman Kompasianer yang sempat saya dengar, beberapa mengalami ketidaknyamanan akibat sistem karantina artikel ini. Beberapa argumentasi:
1. Kami para penulis yang tulus tidak tahu apa saja kata kunci yang "sensitif" itu.Â
2. Seandainya Kompasiana melakukan diskresi, jauh lebih besar Kompasianer yang jujur daripada yang ambyar. Sistem seharusnya berpihak pada mayoritas yang jujur, bukan mempersulit.Â
3. Pada hemat saya, evaluasi perlu dilakukan dengan mendengarkan suara para penulis setia Kompasiana. Kelompok "kecil" yang selama ini mendukung penuh Kompasiana dengan tulisan-tulisan bermutu perlu difasilitasi agar tidak merasa dipersulit menulis.Â
4. Kecepatan kurasi dan penempatan artikel setelah dikurasi (lolos karantina) perlu ditingkatkan. Jangan sampai artikel terdampar di pulau tak berpenghuni sehingga mengalami nasib tragis seperti artikel saya.
5. Saat ini dunia bisnis berdasarkan "kepuasan setiap konsumen". Mengecewakan satu penulis adalah kerugian besar bagi Kompasiana dan bagi dunia literasi Indonesia. Apa jadinya jika penulis bermutu kecewa lalu berhenti menulis di Kompasiana? Okelah, Kompasiana tidak akan kehilangan apa-apa karena ratusan ribu penulis baru akan datang. Tetapi satu permata pergi, apa tak patut disesali?