Beberapa hari lalu saya menulis artikel bertajuk "Menebak Tiga Alasan Jokowi Jadikan Hambalang Pusat Pembinaan Atlet". Sesuai standar yang coba saya terapkan untuk tulisan-tulisan saya di Kompasiana, saya menulis sesuai aturan dan secara santun.
Setelah mengunggah, muncul tulisan "blocked post". Saya mengerti, ada kata(-kata) kunci tertentu yang baru-baru ini dilarang di Kompasiana demi menciptakan suasana Kompasiana yang lebih nyaman.
Artikel yang saya unggah tidak muncul di draf sehingga saya tidak bisa mengedit. Padahal maksud hati ingin menyimpan di draf dan melakukan pratayang (preview) dulu dan merapikan sedikit.Â
Artikel itu lantas masuk ke sistem penilaian manual oleh admin. Saya juga bisa memahami, betapa besar beban kerja admin konten Kompasiana saat ini. Kemungkinan besar sebagian bekerja di rumah dan atau bertambah pekerjaan karena sistem baru "karantina" artikel ini.
Yang menjadi persoalan adalah ketika artikel saya lolos dari karantina, nasibnya sangat mengenaskan. Artikel yang saya tulis dengan perhatian itu mengalami nasib nahas berikut ini:
1. Tidak masuk jajaran "artikel terbaru" ketika lolos karantina atau kurasi kata kunci tertentu
2. Jumlah pembaca sangat minim. Setakat ini baru dibaca 8 orang dan diberi vote 9 orang (aneh, bukan?)
3. Sempat tidak muncul di Pengaturan/Artikel karena waktu penayangan jadi "bertahun-tahun lalu".
4. Kehilangan momentum karena lolos kurasi setelah beberapa jam dari waktu penjadwalan saya.
5. Jujur, rekor artikel lolos karantina ini jadi rekor terburuk artikel saya sampai detik ini.
Penghargaan pada penulis
Saya kira kita semua sepakat bahwa salah satu kebutuhan dasar manusia adalah merasa dicintai, diterima, dan dihargai. Pula para penulis Kompasiana memiliki kebutuhan dasariah itu.
Saya dan rekan-rekan Kompasianer tidak meminta sesuatu yang istimewa. Cukup berilah kami penghargaan yang wajar.Â
Setiap huruf yang kami ketik adalah ungkapan cinta pada literasi di negeri ini.
Sayangnya, sistem karantina artikel -setidaknya yang saya alami sendiri- tidak menunjukkan penghargaan pada tulisan yang dianggit dengan cinta. Bukan pertama kali ini saya mengalaminya. Beberapa bulan lalu saya juga mengalami hal serupa, jauh sebelum Kompasiana menerapkan kurasi ketat kata-kata kunci tertentu.
Ketidaknyamanan untuk penulis tulus dan jujur
Dari kisah teman-teman Kompasianer yang sempat saya dengar, beberapa mengalami ketidaknyamanan akibat sistem karantina artikel ini. Beberapa argumentasi:
1. Kami para penulis yang tulus tidak tahu apa saja kata kunci yang "sensitif" itu.Â
2. Seandainya Kompasiana melakukan diskresi, jauh lebih besar Kompasianer yang jujur daripada yang ambyar. Sistem seharusnya berpihak pada mayoritas yang jujur, bukan mempersulit.Â
3. Pada hemat saya, evaluasi perlu dilakukan dengan mendengarkan suara para penulis setia Kompasiana. Kelompok "kecil" yang selama ini mendukung penuh Kompasiana dengan tulisan-tulisan bermutu perlu difasilitasi agar tidak merasa dipersulit menulis.Â
4. Kecepatan kurasi dan penempatan artikel setelah dikurasi (lolos karantina) perlu ditingkatkan. Jangan sampai artikel terdampar di pulau tak berpenghuni sehingga mengalami nasib tragis seperti artikel saya.
5. Saat ini dunia bisnis berdasarkan "kepuasan setiap konsumen". Mengecewakan satu penulis adalah kerugian besar bagi Kompasiana dan bagi dunia literasi Indonesia. Apa jadinya jika penulis bermutu kecewa lalu berhenti menulis di Kompasiana? Okelah, Kompasiana tidak akan kehilangan apa-apa karena ratusan ribu penulis baru akan datang. Tetapi satu permata pergi, apa tak patut disesali?
Demikian tulisan ini saya tulis dengan penuh ketulusan dan keterbukaan hati. Mohon maaf jika kurang berkenan, tetapi percayalah: kita satu hati untuk literasi negeri.Â
Salam sehat selalu.Â
R.B. Bukan siapa-siapa, cuma remah-remah di Kompasiana.
Silakan baca juga curahan hati guru kita, Pak Khrisna Pabichara di sini. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H