Apa cita-cita anak dan remaja zaman kiwari? Seorang murid SD pernah mengatakan pada Presiden Joko Widodo bahwa cita-citanya adalah jadi youtuber. Nama-nama youtuber tenar pasti melekat di benak anak dan remaja kita saat ini. Lebih dari nama-nama penulis. Apalagi nama narablog atau blogger.Â
"Hari gini (masih) ngeblog? Dapat apa?" Mungkin pertanyaan-pertanyaan ini yang muncul ketika orang mengetahui kita menulis di blog alih-alih jadi youtuber, influencer, dan er-er yang lain.
Menulis di blog, masihkah relevan?
Kala platform semacam YouTube, Instagram, TikTok merajalela, masihkah blog relevan sebagai platform yang patut digeluti saat ini? Sejatinya jawabannya adalah "ya".Â
Mengapa? Pada hemat saya, setidaknya ada tiga alasan mengapa blog masih relevan:
Pertama, jumlah narablog atau blogger di Indonesia masih cukup besar
Menurut Wakil Presiden ASEAN Blogger Chapter Indonesia Amril Taufik Gobel, pada akhir 2011 terdapat 5 juta blogger di Indonesia. Jumlah ini adalah peningkatan sepuluh kali lipat jumlah narablog pada 2008.Â
Kompasiana yang bertransformasi menjadi wahana blog warga pada 2008 setakat ini memiliki hampir 730 ribu anggota terdaftar. Menurut Kaleidoskop Kompasiana 2020, total akun tervalidasi 34.538 anggota. Total akun terverifikasi sebanyak 584 anggota. Total konten artikel yang ditayangkan di blog warga Kompasiana berjumlah dua juta konten.Â
Pada tahun 2020 lalu saja, total pageviews Kompasiana adalah 630.240.859. Anda tidak salah lihat. Ya, ada 630 juta tayangan. Padahal penduduk Indonesia tidak sampai separuhnya. Jumlah konten tahun 2020 adalah 211.358. Anggota baru 242.769 orang.
Blog masih jadi wahana atau platform bagi banyak warga Indonesia. Kompasiana menjadi salah satu buktinya.Â
Kedua, blog memiliki ciri khas personal dan interaksi komunal
Apa bedanya jadi youtuber atau influencer (pemengaruh) dengan jadi blogger? Satu hal yang hampir pasti, blogger memang kalah tenar. Pengecualian untuk nama-nama beken semisal Raditya Dika yang melejit justru dari blog.
Akan tetapi, bukan berarti blog lantas tidak menarik (lagi). Blog memiliki ciri khas personal dan interaksi komunal yang sulit digantikan platform lain. Apalagi blog user generated content yang menyediakan sarana interaksi seperti Kompasiana.Â
Setiap kompasianer atau pengguna Kompasiana dapat mengomentari dan dikomentari pengguna lain. Bisa juga bergabung dengan komunitas yang ada atau mendirikan komunitas sendiri. Hal ini mustahil dilakukan di platform lain yang lebih bercorak produksi konten tanpa banyak melibatkan interaksi nyata dan intensif.
Selain itu, blog lebih bersifat personal. Lazimnya ciri khas penulis di balik akun blog itu akan tampak dalam tulisan-tulisannya. Kualitas diri dan kekayaan pengalaman hidup seseorang akan tampak dari tulisannya. Ia akan lebih leluasa pula mengungkapkan dirinya yang sejati melalui tulisan. Bukan melalui tampilan visual yang memang menawan tetapi rawan manipulasi.
Blog menjadi semacam diary, entah sadar atau tidak sadar. Coba saja baca kembali tulisan-tulisan Anda di blog. Mengapa minggu lalu Anda menulis topik tertentu? Biasanya ada hubungan dengan perasaan dan keprihatinan Anda saat itu.Â
Blog juga menjadi sarana katarsis yang relatif aman. Kita bisa mencurahkan perasaan dan menuangkan gagasan secara relatif leluasa melalui tulisan. Menulis di blog bisa menjadi terapi yang baik asal dijalankan dengan sikap sadar diri.Â
Ketiga, blog masih mendatangkan uang dan jadi jalan bantu kaum papa
Saat ini apa pun yang mendatangkan klik akan dapat dikonversi menjadi penghasilan. Demikian pula tulisan di blog. Simak saja ulasan para blogger purnawaktu yang sukses mendapatkan penghasilan hanya dengan ngeblog. Tentu mereka mendapat uang dari aneka cara: klik iklan di blog yang dimonetisasi, promosi produk, menang lomba, dan jualan produk sendiri melalui blog.
Akan tetapi, blogger di platform user generated content seperti Kompasiana pun ternyata bisa mendapat uang. Ada K-Rewards yang ditawarkan bagi siapa pun yang meraih minimal 1.500 klik Google Unique Views dalam bulan berjalan. Minimal menulis tiga artikel di Kompasiana dalam bulan tersebut. Â
Kompasiana juga rajin menggelar aneka lomba blog. Simak saja di Event Kompasiana dengan utas ini.Â
Ruang Berbagi (R.B.) sendiri ikut menikmati "penghasilan" berkat aktivitas menulis di blog warga Kompasiana ini. Terbaru, Ruang Berbagi atas karunia Tuhan YME meraih penghargaan sebagai juara kedua kategori umum/blogger kompetisi 3 Dekade Bahagia Bersama yang diselenggarakan JNE dan Kompasiana.
Silakan baca artikel yang bertajuk "Kasih Tulus Keluarga Paulus Madur untuk Anak Kolong Jakarta" ini (klik saja).Â
Uang hadiah lomba blog bisa kita manfaatkan untuk kebaikan, termasuk untuk membantu kaum papa. Ketika Ruang Berbagi mengabarkan kemenangan ini pada pengelola Sekolah Anak Kolong, ada kebahagiaan yang membuncah. Siapa sangka, donasi untuk anak-anak yang kurang beruntung bisa didapatkan melalui kegiatan ngeblog di Kompasiana.Â
Jadi, ngeblog rupanya masih relevan dan "menghasilkan" meski tidak sepopular YouTube, Instagram, TikTok, atau platform digital lainnya.Â
Akhirulkalam, dari lubuk hati terdalam, Ruang Berbagi berterima kasih pada Kompasiana, rekan-rekan kompasianer, dan para mitra sponsor Kompasiana.Â
Salam literasi. Salam sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H