Ada banyak hal menarik yang dikemukakan Komjen Listyo Prabowo, calon tunggal kapolri baru dalam uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR, Rabu (20/1/2021).
Listyo menyadari, banyak yang perlu dibenahi dalam tubuh Polri. Perwira berusia 51 tahun ini mengharapkan bahwa ke depan, anggota polantas turun ke lapangan hanya untuk mengatur lalu litas. Tidak perlu lagi polantas menilang secara manual. Tilang elektronik menjadi metode yang diharapkan digunakan luas di masa depan.
Sudah rahasia umum, kenakalan oknum anggota kepolisian terjadi kala turun ke jalan. Kita tentu masih ingat kejadian yang viral beberapa waktu lalu. Seorang turis Jepang mengaku diperas oleh oknum polisi lalu lintas di Bali. Ia diminta membayar total satu juta rupiah.
Untungnya si turis merekam diam-diam kejadian tersebut. Ia mengunggah di YouTube dan lantas jadi heboh. Momen itu memang mencoreng citra Polri, namun juga menjadi pelajaran berharga demi perbaikan kinerja.
Polantas sebagai Ujung Tombak Polri
Listyo paham betul, polantas adalah ujung tombak Polri. Apa yang dilakukan polantas menjadi sorotan masyarakat. Sebut saja kebaikan-kebaikan yang dilakukan polantas pada warga.
Demikian pula sebaliknya, jika anggota polantas melakukan pemerasan atau korupsi, citra Polri tercoreng. Oleh karena itu, Komjen Listyo ingin mengubah perlahan sistem tilang manual yang rawan penyelewengan. Setidaknya ini mengurangi peluang korupsi di lapangan.
Tindakan Represif Berlebihan oleh Oknum Polisi Kita
Upaya Komjen Listyo untuk membenahi transparansi tilang dengan penerapan e-tilang secara lebih meluas patut kita apresiasi. Akan tetapi, sebenarnya soal tilang manual bukan permasalahan pokok yang harus dibenahi Polri saat ini.
Polri masih harus mencari solusi untuk penggunaan kekerasan dan kewenangan secara berlebihan di lapangan. Tindakan represif aparat dalam menangani demo dan menindak tersangka pelaku kejahatan masih mudah kita temui. Kasus terakhir yang sangat kontroversial adalah penembakan kilometer 50 terhadap sejumlah anggota sebuah ormas.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengatakan, pada tahun 2020 lalu, tidak ada kasus kekerasan dengan terduga pelaku anggota kepolisian yang berakhir di meja hijau dalam satu tahun terakhir. Demikian berita Kompas.com.
Dua Hal Mengapa Komjen Listyo Perlu Pelajari Cara Kerja Polisi Jepang
Kepolisian Jepang telah lama menarik perhatian karena pendekatan minim kekerasan yang diterapkan di Negeri Sakura itu. Banyak media massa Amerika Serikat membandingkan cara kerja polisi Jepang dengan polisi AS yang terkesan bagai bumi dan langit.
Polisi AS menewaskan sekitar 7.666 orang antara 2013 dan 2019. Sebagai perbandingan, setidaknya 224 orang tewas dalam "kontak" dengan polisi Kanada selama periode itu.
Sebagai perbandingan, The Economist pada 2018 merilis data menarik. Pada tahun 2017, polisi AS telah menembak mati 458 orang. Pada periode itu, tidak seorang pun tewas karena ditembak polisi di Jepang dan Inggris.
Memang benar, Jepang sangat membatasi pemilikan senjata oleh masyarakat. Tidak seperti beberapa negara bagian di AS yang sangat longgar dalam menerapkan izin senjata untuk sipil. Akan tetapi, bukan soal izin senjata saja yang membuat polisi Jepang dipuji.
Inilah dua alasan mengapa Komjen Listyo sebagai calon tunggal Kapolri perlu pelajari cara kerja polisi di Jepang:
1. Pendekatan Humanis Berbasis Komunitas pada Warga
Polisi Jepang sangat bergantung pada koban (kantor polisi perkotaan) dan chuzaizo (kantor mini di daerah perkotaan dan pedesaan) untuk mengendalikan kegiatan kriminal di suatu daerah. Petugas polisi yang tidak berada di pos polisi juga tetap dekat dengan masyarakat.
Pendekatan polisi terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat di Jepang jauh lebih rutin daripada di Amerika Serikat (Bayley, 1991). Misalnya, dua kali setahun, petugas polisi berseragam mengetuk pintu setiap tempat tinggal dan mengajukan banyak pertanyaan.
Pertanyaan yang disampaikan kadang tidak terkait dengan pengendalian kejahatan, melainkan tentang kehidupan orang-orang di lingkungan tersebut. Polisi juga lebih aktif dalam kegiatan berorientasi pelayanan yang tidak terkait dengan penegakan hukum, seperti berbagai kantor konseling umum di setiap departemen kepolisian tingkat prefektur.
Keterlibatan polisi dalam kegiatan komunitas ini membuat polisi Jepang jauh lebih dapat diterima dan jauh lebih tidak mengganggu. Banyak pengamat mengaitkan rendahnya tingkat kejahatan di Jepang sebagian karena hubungan dekat antara polisi, tokoh masyarakat, dan penduduk.
2. Minimnya Penggunaan Senjata Api
Petugas polisi Jepang jarang menggunakan senjata dan lebih menekankan pada seni bela diri. Semua anggota polisi di Jepang diharapkan memiliki sabuk hitam dalam judo. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk berlatih kendo (bertarung dengan pedang bambu) daripada belajar cara menggunakan senjata api.
"Tanggapan terhadap kekerasan bukanlah kekerasan, tetapi selalu untuk menurunkannya. Hanya enam tembakan yang dilepaskan oleh polisi Jepang secara nasional [pada 2015]," kata jurnalis Anthony Berteaux kepada BBC.
Apa yang dilakukan polisi Jepang ini sangat berkebalikan dengan ulah oknum polisi di Indonesia. Kita sangat sering mendengar berita "tersangka ditembak kakinya oleh polisi."
Dalam praktik, sebenarnya tidak semua tembakan itu diperlukan untuk melumpuhkan tersangka yang mencoba kabur. Sebagian (besar) dari tembakan itu dilakukan lebih untuk membuat jera pelaku atau untuk menegaskan kuasa polisi di lapangan. Ini tidak muncul di berita koran, tetapi sudah jamak kita dengar, juga dari para napi yang mengalami sendiri.
Indonesia dan Jepang memiliki kesamaan budaya Asia yang sama. Seharusnya pendekatan humanis berbasis komunitas warga dan minimnya penggunaan senjata api bisa diterapkan juga oleh polisi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H